Harry menundukkan kepala, memandangi tangannya sendiri yang bergetar lemah di atas lututnya. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi pikiran tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya-alzheimer dini yang mulai menggerogoti ingatannya sejak lima tahun lalu-membuat dadanya terasa sesak.

Ia tidak ingin membebani Draco, terutama saat mereka baru saja memulai hubungan yang entah ke mana arahnya.

"𝑨𝒌𝒖 𝒃𝒂𝒊𝒌-𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒋𝒂" katanya lagi, lebih keras, meskipun ia tidak yakin apakah ia mencoba meyakinkan Draco atau dirinya sendiri.

"Aku hanya kelelahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Draco tidak menjawab. Ia hanya menatap Harry dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, tapi juga kelelahan. Bibirnya melengkung tipis, hampir seperti seringai, tetapi tidak sampai ke matanya.

"Kau benar-benar payah dalam berbohong, Potter" gumamnya.

"Tapi baiklah, aku tidak akan memaksamu. Untuk sekarang."

Harry mendongak, menatap Draco dengan sedikit rasa bersalah. "𝑴𝒂𝒂𝒇" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.

Draco mendesah panjang, lalu berdiri, "Jangan meminta maaf untuk sesuatu yang tidak kau pahami," katanya, berjalan menuju jendela besar di sudut ruangan. Ia menarik tirai sedikit, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan.

"Aku hanya ingin memastikan kau tidak mati di kamarku. Itu akan jadi skandal besar, Potter."

Pernyataannya diakhiri dengan nada sarkasme yang biasa, tetapi Harry bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu. Tatapan Draco kembali padanya, penuh dengan kebingungan, tetapi juga perhatian yang sulit ia sembunyikan.

Harry tahu Draco ingin tahu lebih banyak, tapi untuk sekarang, ia masih belum siap memberikan jawabannya.

Harry menatap wajah Draco yang tampak kesal, dan entah kenapa, ia justru tersenyum tipis. Namun, senyum itu tidak bertahan lama. Dadanya mulai terasa berat, dan tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir. Diam-diam, ia menangis, membuat Draco yang berdiri di dekat jendela terkejut.

Draco berbalik, alisnya berkerut. "Potter" panggilnya dengan nada bingung, meski ada ketenangan yang dipaksakan.

"Apa lagi yang terjadi sekarang? Kenapa kau menangis?"

Namun, Harry hanya menggelengkan kepala, air mata masih membasahi pipinya. Tangannya terangkat, gemetar, dan ia membuka kedua lengannya, seperti seorang anak kecil yang membutuhkan penghiburan. Bibirnya bergerak pelan, hampir seperti bisikan, tapi suaranya terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu.

"Peluk... peluk aku," ujarnya dengan nada manja yang terdengar asing di telinga Draco.

Draco mematung sejenak, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Tapi melihat tubuh Harry yang tampak begitu rapuh dan ekspresi penuh permohonan di wajahnya, Draco tidak mampu menahan diri. Ia melangkah maju, lalu menarik Harry ke dalam pelukannya.

Tangannya melingkar erat di tubuh Harry, dan ia merasakan betapa gemetarnya tubuh lelaki itu.

"Aku tidak mengerti kau, Potter," bisik Draco, suaranya lebih lembut dari biasanya.

"Kenapa kau seperti ini? Apa ini karena Kediamanku? Apa kau merasa berat di sini? Apa ini semua salahku?"

Namun, Harry tetap tidak menjawab. Ia hanya membenamkan wajahnya di dada Draco, air matanya membasahi kemeja mahal Draco. Hembusan napasnya tidak beraturan, dan pelukan mereka terasa seperti tempat perlindungan sementara dari segala hal yang mengganggu pikiran Harry.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now