Kata-kata itu membuat Draco semakin kesal. Ia berbalik dengan kasar, meninggalkan kedua temannya, mantel hitamnya berkibar di belakangnya. Blaise dan Theodore menatapnya pergi, Blaise akhirnya berkata pelan,

"Aku tak tahu siapa yang lebih posesif, kau atau dia."

Moody, yang masih berdiri di sana, bergumam pelan. "Slytherin dan drama mereka... tak pernah ada habisnya."

Sementara Draco berjalan menjauh, pikirannya kacau. Ia tahu Theodore hanya mencoba mengganggu nya, tapi ada sesuatu dalam cara Theodore berbicara tentang Harry yang membuat darahnya mendidih. Ia tidak tahu kenapa ia merasa begitu terganggu. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan siapa pun, terutama Theodore, mendekati Harry Potter.

°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆

Ruangan apartemen terasa sepi, hanya terdengar detak jam di dinding. Draco Malfoy mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik ke layar ponselnya yang tergenggam di tangan. Matanya menatap tajam tanggal di layar, alisnya berkerut dalam. Bukankah ini hari libur Harry? pikirnya. Jadwal Harry mengajar di taman kanak-kanak selalu teratur, tidak pernah meleset sedikit pun. Tapi sekarang, pria itu tidak ada di apartemen.

Draco mendesah berat, menggenggam ponselnya lebih erat. Ada dorongan untuk menekan tombol panggil dan mendengar suara Harry, tapi rasa gengsi dan harga dirinya menahannya. Dia meletakkan ponsel di meja, kemudian duduk dengan malas di sofa kulit hitam. Jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran sofa, sementara pikirannya terus bergulat.

"Potter" gumamnya dengan nada rendah, "Kau selalu meninggalkan sticky notes atau pesan bodoh di kulkas. Kali ini tidak ada. Apa kau marah karena aku tidak pulang makan malam seminggu ini?"

Draco menghela napas, merasa kesal pada dirinya sendiri. Mengapa dia repot-repot memikirkan perasaan Harry? Seharusnya dia tidak peduli.

Namun, rasa gelisah itu semakin menumpuk. Draco menatap ponselnya sekali lagi, nyaris menekan nomor Harry, lalu menarik tangannya kembali dengan frustasi. Dia menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang terus memutar kemungkinan buruk.

Harry Potter melangkah pelan di sepanjang jalan pagi yang sejuk. Tangannya dimasukkan ke saku mantel, sesekali mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap hidungnya. Pilek ringan mengganggunya pagi ini, tapi dia memilih untuk berjalan kaki daripada naik bus. Udara dingin dan suasana pagi yang damai membuat pikirannya lebih tenang.

Kemarin, saat membereskan lemari, dia menemukan sebuah sapu tangan tua terselip di antara tumpukan baju lamanya. Nama Theodore Nott & Harry Potter terbordir di salah satu sudutnya. Meski namanya jelas tertera, Harry tidak ingat siapa Theodore Nott. Satu-satunya petunjuk hanyalah tulisan di sapu tangan itu.

Setelah membeli beberapa barang kebutuhan di toko dekat apartemen, Harry memutuskan mampir ke toko roti favoritnya. Dia sedang sibuk memilih roti saat seorang pria tinggi dengan seragam Auror masuk. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, matanya memancarkan pesona yang sulit diabaikan.

Pria itu, Theodore Nott, memperhatikan Harry dengan penuh minat, lalu berjalan mendekat.

Mata hijau Harry menyapu rak-rak roti yang dipenuhi pilihan, mulai dari croissant hingga roti isi kacang almond. Tangannya terulur untuk mengambil salah satu roti gandum saat tubuh seseorang tiba-tiba menghalangi jalannya.

Harry mendongak, mendapati seorang pria tinggi dengan seragam Auror berdiri di depannya. Rambut cokelat gelap pria itu tersisir rapi, dan matanya memandang Harry dengan campuran rasa penasaran dan-sepertinya-keakraban.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now