Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa pusing yang semakin menyiksa, namun itu tak membantu. Keadaannya memang semakin buruk, dan ia tahu itu.
Pikirannya melayang pada Draco. Pria berambut pirang itu kini tinggal bersamanya, satu atap yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Draco yang dulu adalah musuhnya, rival yang paling ia benci, kini menjadi seseorang yang tak bisa lagi ia lepaskan begitu saja.
Awalnya, ketika Draco ditugaskan oleh Kementerian Sihir untuk mengawasinya, Harry merasa terjebak. Ia khawatir rahasia terbesarnya akan terbongkar. Penyakit yang perlahan merenggut ingatannya-Alzheimer dini-adalah sesuatu yang harus dijaga dengan cermat.
Namun, seiring waktu, ia mulai melihat sisi lain dari Draco yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya.
Terkadang Draco, dengan sifat cueknya, selalu hadir tanpa banyak bicara. Ia tidak peduli dengan masalah-masalah kecil Harry, bahkan seolah tak mempedulikan ketegangan yang ada di antara mereka.
Draco hanya fokus pada tugasnya sebagai Auror-tugas yang membuatnya harus mengawasi Harry, tetapi tanpa banyak intervensi. Dan Harry, meski tak pernah mengeluh, merasa beban itu tetap ada. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga: mencuci piring, memasak, merawat taman kecil di belakang rumah, dan segala hal yang harusnya dilakukan bersama.
Draco hanya duduk santai, membaca laporan, atau sesekali mengirimkan berkas melalui burung hantu. Tidak ada banyak pembicaraan di antara mereka, hanya keheningan yang mengisi ruang yang terasa semakin sempit.
Namun, dalam keheningan itu, Harry tidak bisa menghindari perasaan yang semakin dalam terhadap Draco. Ia tahu bahwa Draco tak pernah menyadari perasaan itu. Harry tahu dia tidak pantas berharap lebih dari sekadar teman serumah-terlebih dengan penyakit yang terus merenggut ingatannya. Meskipun begitu, hatinya tak bisa dihentikan untuk merindukan sesuatu yang lebih, sesuatu yang tak akan pernah terjadi.
"Apa dia akan mencintaiku suatu hari nanti?" gumam Harry pelan, hampir tak terdengar, namun kata-kata itu tetap menggema di pikirannya.
Dia kembali teringat pada beberapa momen yang mereka habiskan bersama, meskipun tak banyak. Saat Draco tersenyum padanya, saat Draco memeluknya erat-erat setelah pulang dari pesta mabuk, saat Draco menatapnya dengan tatapan yang membuatnya merasa seolah dunia milik mereka berdua.
Semua itu membuat hatinya berbunga-bunga. Tapi, ada sisi lain yang tak bisa ia abaikan: kenyataan bahwa penyakitnya semakin parah, dan dia merasa seolah tidak pantas untuk pria sebaik Draco.
Di Taman Kanak-Kanak
Bus berhenti di depan taman kanak-kanak yang menjadi tempat Harry mengajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan dirinya. Hari ini, ia harus mengajar anak-anak. Itu adalah cara terbaik untuk melupakan sejenak segala kerumitan dalam hidupnya, untuk mencoba menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Ketika dia keluar dari bus dan melangkah menuju pintu gerbang taman kanak-kanak, bayangan Draco kembali melintas di kepalanya.
"Selamat pagi, Guru Harry!" sapa seorang anak kecil dengan ceria, memecah lamunannya. Harry tersenyum tipis, melupakan rasa sakit yang terus menghantuinya, dan melangkah masuk ke dalam.
Sementara itu, jauh di dalam apartemen mereka, Draco berada di ruang kerjanya, duduk di meja kecil yang dipenuhi kertas-kertas berkas dari Kementerian Sihir.
Pekerjaan sebagai Auror mengharuskan Draco untuk mengirimkan laporan-laporan secara rutin, dan ia melakukannya dengan serius, meskipun pandangannya tidak pernah benar-benar terfokus pada kertas-kertas itu. Sesekali, Draco melirik ke arah pintu yang mengarah ke ruang tamu, seolah menunggu Harry kembali.
YOU ARE READING
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 07 ~~
Start from the beginning
