Harry terdiam, hatinya bergemuruh. Ia tidak bisa membantah kata-kata itu. Ia tahu bahwa dirinya memang milik Draco, tapi ia tidak pernah berani menganggap Draco juga miliknya. Harry tahu dirinya tidak pantas untuk pria seperti Draco, dan meskipun ia mencintainya lebih dari apa pun, ia tidak berani mengungkapkannya.

Harry akan memeluknya tanpa bertanya apa pun, meskipun dalam hatinya ada ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Malam-malam itu terasa seperti hukuman bagi Harry, tetapi ia tetap melakukannya karena ia tahu, jika ia tidak ada di sana, Draco mungkin akan lebih hancur.

Pagi datang, dan cahaya fajar mulai menembus celah tirai kamar tidur. Harry perlahan membuka matanya, merasakan rasa sakit yang menggerogoti kepalanya. Sakit kepala yang tak pernah benar-benar hilang, seolah semakin parah belakangan ini. Ia merasakan pusing yang mengaburkan pandangannya, tapi ia berusaha keras menahannya.

Draco masih tertidur pulas di sampingnya, tubuhnya terkulai lemas di bawah selimut tebal, napasnya sedikit terengah-engah dan wajahnya memerah karena sisa-sisa alkohol semalam. Aroma bau alkohol masih samar-samar tercium di udara kamar, menambah beban di kepala Harry.

Tanpa banyak berpikir, Harry bangkit perlahan dan menuju ke dapur kecil apartemen mereka. Ia menyiapkan sarapan hangat, menyusunnya dengan teliti. Hari ini, ia membuat sup ayam hangat yang dipercaya bisa meredakan sakit kepala akibat mabuk, dan sepiring kecil potongan apel hijau, yang selalu menjadi favorit Draco.

Setelah selesai menyiapkan sarapan, Harry kembali ke kamar tidur. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan rambut pirang Draco yang menutupi wajahnya, menatapnya dengan lembut. Wajah Draco terlihat polos saat tidur, jauh dari kesan angkuh dan sombong yang selalu ia tunjukkan di siang hari. Harry tidak bisa menahan diri untuk tersenyum, meskipun rasa sakit di kepalanya semakin mengganggu.

Dengan lembut, Harry menyelimuti Draco kembali, memastikan pria itu tetap nyaman di tempat tidurnya. Jari-jarinya menyusuri poni pirang Draco, merasakan kelembutan rambut itu di bawah ujung jarinya. Hatinya bergemuruh saat menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada pria ini sejak pertama kali bertemu di Hogwarts.

Namun, ia tahu bahwa Draco tidak akan pernah mengetahuinya. Draco, dengan segala kesombongannya, pasti akan menertawakan perasaan Harry.

Sebelum pergi bekerja, Harry mencium pelan kening Draco, menahan napas sejenak.

"Aku pergi dulu" bisiknya, dan meskipun ada rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya, ia merasa sedikit tenang karena bisa merawat Draco, meskipun hanya dalam diam.

Namun, hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Harry menulis selembar sticky note kecil dan menempelkannya di samping tempat tidur Draco. Jangan lupa sarapan. Aku akan kembali secepatnya.

Harry tidak pernah bisa mengatakan apa yang ia rasakan, tapi setidaknya ia bisa memberikan sedikit kebahagiaan untuk pria yang sangat ia cintai.

°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆

Di Jalanan London yang Kabur


Bus itu melaju perlahan di jalanan London yang pagi itu diselimuti kabut tipis. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela, menciptakan pola-pola cahaya di kursi-kursi yang kosong.

Harry duduk di kursi dekat jendela, matanya menatap kosong ke luar, menyaksikan dunia yang berlalu begitu saja, tanpa ada yang menarik perhatian. Rambut hitamnya yang berantakan tertiup angin dari celah jendela, dan wajahnya yang tampak pucat itu dipenuhi bayang-bayang kelelahan. Sakit kepala yang sudah menjadi teman setia sejak beberapa bulan terakhir kembali menghampirinya, menggigit-gigit pelipisnya dengan tajam.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now