Terkadang, ia bertanya-tanya apakah Draco membawa wanita-wanita itu ke hotel, menghabiskan malam bersama mereka. Pikiran itu menyakitkan, tetapi Harry tidak pernah berani menanyakannya. Ia tahu tempatnya; Draco tidak mencintainya, dan ia mencoba menerima kenyataan itu, walau hatinya terus-menerus terluka.

Ketika Draco pulang larut malam, bau alkohol, parfum wanita yang mencolok, dan noda lipstik di kerah kemejanya, Harry hanya menahan napas dan berpura-pura tidak melihat. Draco biasanya akan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa atau tempat tidur, meminta Harry memeluknya. "Aku lelah" katanya dengan nada malas, sering kali masih setengah mabuk.

"Malfoy," sapa Harry dengan lembut, suara itu pecah di tengah keheningan malam, memberikan Draco sedikit kenyamanan meski ia mabuk.

Draco tersenyum lebar, matanya tampak sayu dan sedikit terpejam.

"Harry" gumamnya, suaranya serak dan bergetar karena alkohol yang mulai menguasai dirinya. Tanpa peringatan, Draco langsung merangkul tubuh Harry erat-erat, tubuhnya yang hangat dan berbau alkohol menempel dengan intim.

Harry sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini-Draco yang pulang dalam keadaan mabuk, penuh cerita dari klub malam mewah yang selalu dia kunjungi bersama teman-teman Slytherin-nya. Blaise, Pansy, dan wajah-wajah lain yang tidak dikenalnya sering muncul di media sosial, berpose di klub-klub malam dengan tawa yang menggema.

"Kau sudah pulang," ucap Harry pelan, mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa ini hanya keadaan sementara.

Draco mengangguk, wajahnya semakin menempel di leher Harry, tubuhnya berguncang sedikit karena mabuk.

"Aku merindukanmu.." bisiknya, suaranya penuh dengan kerinduan yang tidak bisa dipercaya, namun tetap membuat Harry merasa sesuatu yang lebih dalam.

Harry terdiam, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ia tahu betul bahwa Draco dalam keadaan mabuk, dan kata-katanya mungkin tidak sepenuhnya tulus. Namun, ada sesuatu dalam nada suara itu-sesuatu yang membuat Harry merasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang lebih tersembunyi di balik kata-kata tersebut.

"Malfoy, kau harus istirahat," ucap Harry lembut, berusaha melepaskan pelukan Draco, meski hatinya sangat ingin mengelus punggung pria itu.

Draco menggeleng keras, seolah menolak kenyataan.

"Jangan tinggalkan aku," rengeknya, memeluk lebih erat, wajahnya menempel di dada Harry.

Harry menghela napas. Ia tahu bahwa jika ia terus menolak, Draco tidak akan mendengarnya. Dengan hati-hati, Harry mengarahkan Draco ke kamar tidur, merasakan betapa berat tubuh Draco di pelukannya, dan betapa rapuhnya pria itu dalam keadaan seperti ini.

Sesampainya di kamar, Draco langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menarik selimut tebal dan menyelimuti dirinya, seolah ingin menyembunyikan segala rasa yang tidak bisa ia ungkapkan.

"Tidurlah," ucap Harry lembut, berusaha menyusun kata-kata agar tidak melukai perasaan Draco.

Draco meraih tangan Harry dengan keras dan menariknya ke dalam pelukannya.

"Jangan pergi" pintanya, suaranya penuh dengan manja, seolah-olah tubuhnya mencari kenyamanan dari kehadiran Harry.

Harry menatap wajah Draco, melihat betapa rapuhnya pria itu, dan meskipun ia tahu bahwa ini hanya sementara, ia tidak bisa menahan diri. Dengan perlahan, Harry ikut merebahkan tubuhnya di samping Draco. Draco menariknya lebih dekat, memeluknya erat-erat, wajahnya yang tampak lelah terkubur di leher Harry, seolah dunia ini milik mereka berdua.

"Kau milikku" bisik Draco dengan suara penuh emosi, meskipun Harry tahu bahwa kata-kata itu hanyalah efek dari alkohol yang mengalir di tubuh Draco.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now