~~ Chapter 06 ~~

Mulai dari awal
                                        

"Apa maksudmu?"

"Kalau aku berada di posisi itu," lanjut Harry, nadanya masih lembut.

"aku juga akan pergi. Aku tidak ingin orang yang kucintai harus melihatku perlahan-lahan mati. Lebih baik mereka membenciku... daripada terus hidup dalam kesedihan mengenangku."

Ruangan mendadak terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Hanya suara latar dari televisi yang terdengar samar-samar, adegan berikutnya dari drama muggle itu tampak tidak menarik perhatian mereka lagi.

Draco menatap Harry dalam-dalam, ekspresinya berubah dari sarkastik menjadi serius. Ia bahkan lupa dengan berkas yang sedang dipegangnya.

"Kau serius?" tanyanya, nada suaranya nyaris berbisik, hampir seperti takut mendengar jawabannya.

Harry hanya mengangguk pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari Draco.

Keheningan menggantung di antara mereka, hampir seperti waktu berhenti untuk sesaat. Draco tampak tidak bisa berkata-kata, matanya sedikit menyipit seperti sedang mencerna kata-kata Harry. Akhirnya, ia mendesah, suaranya lebih rendah daripada sebelumnya.

"Kau benar-benar tolol kalau begitu,"

Harry tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa berat. "Ya, mungkin aku memang tolol. Tapi aku serius, Draco. Jika itu demi kebahagiaan mereka, aku akan melakukannya."

Draco mengerutkan kening, seolah ada sesuatu yang tidak bisa ia terima dari pernyataan itu. "Kau benar-benar percaya kalau itu membuat mereka bahagia? Membenci seseorang yang mereka cintai? Kau pikir orang seperti itu akan mudah melupakanmu?"

Harry menghela napas panjang, tangannya bermain-main dengan ujung kaus kebesarannya. "Aku tidak tahu, Draco. Tapi aku hanya ingin mereka punya kesempatan untuk melanjutkan hidup tanpa terus-terusan terjebak dalam rasa kehilangan."

Draco masih menatapnya, ekspresinya sulit ditebak. Namun, ada sedikit kekakuan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari dirinya. Ia akhirnya berdeham kecil, mencoba mengalihkan perhatian kembali ke berkasnya.

"Omong kosong dramatis," katanya, kembali memasang topeng sarkasmenya.

Draco masih duduk di meja ruang makan sederhana, sebuah berkas tebal di tangannya. Lampu gantung di atas meja menerangi wajahnya yang tampak serius, meski mata abu-abunya menyiratkan kelelahan. Seharian ia bergulat dengan laporan yang harus diselesaikan untuk Kementerian Sihir. Tugasnya tidak hanya berat, tapi juga melelahkan mental.

"Malfoy" panggil Harry pelan dari sofa, suaranya lembut namun terdengar jelas.

"Apa lagi, Potter? Aku sedang bekerja" jawab Draco tanpa menoleh.

Harry hanya tertawa kecil dan duduk di seberangnya. Untuk sesaat, hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, sebelum Harry membuka pembicaraan.

"Malfoy" katanya dengan nada lembut, "kalau kau ada di posisi seseorang yang kau cintai meninggalkanmu karena sakit... apa yang akan kau lakukan?"

Pertanyaan itu membuat Draco berhenti menulis. Ia mendongak, menatap Harry dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.

"Kau benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, ya?"

Harry mengangkat bahu, menunggu jawaban.

Draco menghela napas panjang, meletakkan penanya di atas meja.

"Kau benar-benar suka membuang waktuku dengan hal-hal konyol seperti ini, ya?" gumamnya, tapi ia tidak bangkit dari kursinya.

Sebaliknya, ia menatap Harry dengan pandangan tajam, mempertimbangkan jawabannya dengan hati-hati.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang