"Astaga, Potter! Drama ini sedang di momen genting!" gerutu Draco, berusaha merebut remotenya kembali.

"Gentiiiing?" ejek Harry, memutar matanya. "Lebih penting daripada aku di sini?"

"Jauh lebih penting!" Draco mengejar Harry, yang kini berlari memutar sofa sambil tertawa. Adegan itu berubah menjadi perebutan remote yang kekanak-kanakan, lengkap dengan Draco yang sesekali hampir terpeleset di lantai kayu.

Ketika akhirnya Draco menangkap Harry di sudut ruangan, ia tidak hanya merebut remote itu kembali. Dengan kedua tangannya yang kuat, ia mengangkat tubuh Harry seperti membawa anak kecil, membuat pria itu terpekik kaget.

"Malfoy! Turunkan aku!" protes Harry, wajahnya memerah karena posisi yang tidak biasa.

Draco, dengan ekspresi puas, hanya tertawa kecil. "Oh, aku akan menurunkanmu. Tapi tidak sebelum aku membalas perlakuanmu tadi."

Sebelum Harry sempat bertanya, Draco dengan santai menepuk pantatnya-bukan sekali, tetapi dengan sedikit tekanan ekstra, hampir seperti remasan.

"MA-MALFOY!" seru Harry terkejut, wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia menggeliat, berusaha meloloskan diri dari cengkeraman Draco, tetapi sia-sia.

"Anggap saja ini balasan setimpal," jawab Draco ringan, nadanya penuh kemenangan.

"Kenapa harus ada remasan segala?" balas Harry dengan nada terputus-putus, masih berusaha menutupi rasa malunya.

Draco hanya mendengus, lalu tanpa basa-basi, menjatuhkan Harry dengan lembut ke sofa. Ia kembali mengambil tempatnya di sofa sebelah, menyalakan televisi dengan wajah tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

"Drama ini jauh lebih penting daripada protesmu," katanya, memperbesar volume TV.

Harry duduk diam di sofa, wajahnya masih merah padam. Ia membuka mulut untuk berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, ia hanya melirik Draco dengan tatapan penuh kecurigaan, sebelum akhirnya mendesah. "Kau benar-benar tidak bisa diajak bicara serius, Malfoy."

"Betul sekali," sahut Draco santai tanpa memalingkan pandangannya dari layar.

Namun, suasana segera berubah ketika drama di televisi mencapai adegan klimaksnya. Wanita dalam cerita itu, dengan mata penuh air mata, meninggalkan pasangannya di tengah hujan karena penyakit kanker stadium akhir. Musik melankolis mengiringi, dan adegan itu diakhiri dengan senyum pahit sang wanita.

Setelah adegan berakhir dengan akhir yang menggantung, ia meninggalkan TV dan kembali ke tumpukan berkas di lantai. Harry memperhatikan Draco yang mulai membereskan dokumen dengan ekspresi serius.

Draco tertawa sinis, suaranya penuh sarkasme. "Tentu saja. Drama Muggle selalu berakhir dengan penyakit mematikan atau kematian tragis. Kreativitas mereka benar-benar mengagumkan," ujarnya sambil memutar bola matanya.

Harry, yang akhirnya ikut menonton, menatap Draco dengan lembut. "Tidak semua bisa disembuhkan dengan sihir, Malfoy. Terkadang, kenyataan memang seperti itu."

Draco tertawa kecil, suara sarkastiknya memenuhi ruangan. "Ya, ya. Tetapi ini terlalu berlebihan. Siapa yang meninggalkan pasangannya hanya karena hal seperti itu?"

Harry, yang masih duduk di sofa dengan posisi santai, mengalihkan pandangannya dari televisi ke arah Draco. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, tetapi kali ini senyum itu mengandung sesuatu yang lebih serius.

"Aku akan melakukannya," jawabnya pelan.

Draco menghentikan aktivitas tangannya yang tengah merapikan berkas di lantai. Ia menoleh, menatap Harry dengan tatapan heran bercampur tidak percaya.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora