~~ Chapter 05 ~~

Mulai dari awal
                                        

Namun, Draco segera menepis pemikiran itu. Tidak ada tempat untuk keraguan atau perasaan di dalam tugasnya. Ia adalah seorang auror, dan Harry Potter hanyalah seorang penyihir yang harus diawasi. Tidak lebih dari itu.

Malam itu, meski mereka berada di ruang yang sama, Harry dan Draco tetap terpisah, masing-masing terkubur dalam kesendirian mereka sendiri, tanpa kata yang menghubungkan mereka, hanya keheningan yang membebani udara.

°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆

Pagi yang cerah di taman kanak-kanak itu biasanya dipenuhi dengan suara tawa anak-anak dan warna-warna cerah dari crayon yang menari di atas kertas gambar. Namun, hari ini suasana itu berubah menjadi kekacauan kecil ketika Draco Malfoy tiba tanpa pemberitahuan.

Pria bertubuh tinggi dengan rambut pirang platinum yang selalu terlihat seperti baru selesai dari salon itu masuk ke kelas dengan langkah percaya diri, mengenakan mantel Auror yang mencolok. Matanya memindai ruangan dengan senyum angkuh. Harry, yang tengah membantu seorang anak menempelkan kertas warna di dinding, langsung merasa was-was.

"Potter!" suara Draco menggema, memotong suasana riuh menjadi senyap. "Aku baru ingat kalau kau bekerja di tempat ini. Jadi, aku pikir aku akan mampir... memastikan kau tidak mengajarkan sihir gelap pada anak-anak tak berdosa ini."

Murid-murid TK yang tadinya asyik dengan aktivitas mereka mulai saling berbisik-bisik. Seorang anak laki-laki berbisik pada temannya, "Guru Harry, siapa pria menyeramkan itu? Apa dia monster dari buku cerita kita?"

Harry menghela napas panjang, berusaha meredam kekesalannya. "Malfoy," sapanya dengan suara yang berusaha tetap sopan. "Kau tidak bisa masuk seenaknya ke sini. Ini ruang kelas, bukan ruang interogasi."

"Oh, santai saja, Potter," balas Draco sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi kecil di pojok ruangan, yang jelas terlalu kecil untuk tubuhnya. Kursi itu berdecit keras, membuat beberapa anak terkikik.

"Aku hanya ingin melihat cara kau bekerja. Siapa tahu aku bisa belajar sesuatu... meski aku ragu itu mungkin."

Harry mengabaikan ejekannya dan mencoba kembali fokus pada anak-anak. Tapi, tentu saja, Draco tidak berhenti di situ. Ia meraih salah satu crayon biru dari meja anak perempuan yang duduk di dekatnya.

"Jadi, kau menggambar langit, ya? Hmm, langit biru itu terlalu membosankan. Apa kau tidak tahu ada hal lain yang lebih menarik?"

Draco mencoret-coret gambar itu dengan warna hitam, menciptakan awan gelap besar yang memenuhi halaman kertasnya.

Anak perempuan itu langsung menangis. "Guru Harry! Dia merusak gambarku!"

Harry menoleh cepat, matanya melotot ke arah Draco. "Malfoy, kau tidak bisa begitu! Berikan kembali crayon itu dan minta maaf."

"Minta maaf?" Draco menatap Harry dengan ekspresi tidak percaya, lalu menoleh ke anak perempuan itu.

"Dengar, anak kecil, hidup ini tidak selalu penuh warna biru cerah. Kadang ada awan gelap, badai, bahkan... hujan es."

Anak perempuan itu menatapnya bingung, lalu menangis lebih keras. Harry menghela napas lagi, kali ini lebih panjang, sambil mencoba menenangkan si anak.

"Malfoy, jika kau ingin tinggal, tolong, jangan buat anak-anak trauma."

Draco mengangkat bahu dengan santai. "Trauma? Ayolah, mereka butuh pelajaran tentang kenyataan hidup. Lihat saja aku, aku berhasil tumbuh menjadi pria sukses meski masa kecilku penuh tekanan."

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang