Draco muncul di ambang pintu balkon, rokok menyala di antara jarinya. Ia mengembuskan asap tebal ke udara,"Sepertinya kau seperti pembantu rumah tangga daripada seorang penyihir," ejeknya, suaranya terdengar dingin dan menusuk.
Harry tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Jangan berani memanggilku seperti itu, atau aku akan membuatmu mengerjakan semuanya," balasnya santai.
"Oh, jangan mengancamku, Potter. Kau memang lebih cocok dipanggil pembantu," sahut Draco dengan nada meremehkan.
"Lagipula, siapa lagi yang akan merawat seorang tuan muda sepertiku?" Tawa Draco.
Harry menaikkan alisnya. "Oh, benarkah? Aku lebih senang dipanggil istri" balasnya dengan nada menggoda, namun dalam hatinya, kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk.
Draco terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. "Istri? Kau? Kau bercanda, bukan? Seorang penyihir sekuat diriku tidak mungkin menikah dengan seorang... Potter."
Tanpa menunggu jawaban Harry, Draco langsung berjalan santai ke dalam rumah. "Buatkan aku kopi dan cemilan!" teriaknya dari kejauhan.
"Aku hanya pembantu.." Harry menatap punggung Draco yang menjauh. Rasa sakit yang dirasakannya saat ini bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Dia merasa begitu kesepian dan tidak berharga.
Harry hanya menggelengkan kepala dan tersenyum sedih mendengar komentar Draco. Ia melanjutkan pekerjaannya sambil sesekali tersenyum mengingat reaksi Draco yang memang sangat angkuh.
Draco, dengan sikap acuhnya, sama sekali tidak menyadari penderitaan yang dialami Harry. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri dan kenyamanannya. Draco bahkan tidak pernah bertanya tentang kesehatan Harry, atau menawarkan bantuan.
Mendengar kata-kata Draco, hati Harry hancur berkeping-keping. Dia merasa begitu kesepian dan tidak berdaya.
Esoknya, rutinitas Harry dimulai lebih awal. Ia mengurus pakaian Draco, menyeterika setiap helai dengan rapi, lalu menghabiskan pagi di TK muggle tempatnya mengajar. Anak-anak itu adalah satu-satunya pelipur laranya. Mereka tertawa, mereka bernyanyi, dan mereka memeluknya tanpa syarat. Namun, setiap kali ia kembali ke apartemennya, semua keceriaan itu seolah sirna, tersapu oleh aura dingin Draco.
Sore itu, ketika Harry baru saja pulang, Draco duduk di sofa dengan segelas anggur di tangannya. "Kau sudah selesai bermain dengan anak-anak kecil itu?" tanyanya sarkastik.
Harry menaruh tasnya di meja dan menatapnya sekilas. "Itu pekerjaan, Malfoy. Kau tahu, sesuatu yang juga kau lakukan, hanya saja lebih banyak berteriak dan menyalahkan orang lain."
Draco menyeringai. "Pekerjaan yang bagus sekali untuk seorang pahlawan Perang Sihir. Apa kau tidak malu, Potter? Setelah lima tahun menghilang, kau kembali hanya untuk menjadi guru TK?"
Harry menghela napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. "Setidaknya aku tidak menggunakan pekerjaanku untuk mengganggu hidup orang lain."
Perkataan itu membuat Draco terdiam sesaat, tapi dia segera tersenyum dingin. "Kementerian ingin jawaban, Potter. Lima tahun kau menghilang, tanpa ada jejak sihir sama sekali. Dan tiba-tiba kau muncul, tinggal di dunia muggle, bekerja seperti orang biasa. Kau tidak merasa aneh kalau mereka menganggapmu mungkin... menyembunyikan sesuatu?"
Harry menatap Draco dengan ekspresi datar. "Jadi, menurut mereka aku ini seorang Obscurial?"
Draco menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya menyipit. "Itu hanya dugaan, tapi kau tahu, Potter... tidak ada yang bisa bertahan hidup seperti itu tanpa sihir selama lima tahun, apalagi kau."
YOU ARE READING
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 05 ~~
Start from the beginning
