Harry tertawa kecil meski sakit hati. "Setidaknya, kau tidak harus mencuci piring atau membersihkan rumah."

Draco mengangkat bahu, lalu kembali fokus pada berkasnya. "Benar juga. Kau sangat pandai melayani, Potter. Mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mempekerjakanmu setelah tugas ini selesai."

Harry hanya tersenyum tipis, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Tidak peduli betapa dinginnya Draco, Harry tetap mencintainya. Dan untuk saat ini, itu cukup baginya.

°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀

Draco Malfoy-dengan segala kesombongannya yang dingin-menjadikan tempat itu seperti medan perang emosional bagi Harry.

Draco, yang selalu bangun siang dengan tampilan sempurna, tidak pernah ragu mengeluarkan perintah. Hari itu, ia muncul dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, wajahnya masih basah, tapi nada angkuhnya tetap utuh.

"Potter, aku mau sarapan. Telur dadar, bacon ekstra, jangan lupa jus jeruk segar. Cepat!" katanya sambil menjentikkan jari, seolah sedang berbicara dengan peri rumah.

Harry menatapnya sekilas, kemudian melangkah tanpa sepatah kata pun menuju dapur. Langkahnya berat, dan kepalanya berdenyut seperti ada palu yang mengetuk. Namun, ia tahu bahwa protes hanyalah sia-sia. Draco adalah auror yang ditugaskan mengawasinya atas perintah Kementerian Sihir, bukan tamu yang bisa diusir dengan mudah.

Saat Harry menghidangkan sarapan di meja makan, Draco duduk dengan santai, membuka koran harian sihir sambil menyesap jus jeruk.

"Kau tahu, Potter," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari koran.

"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa bertahan hidup tanpa aku. Kau ini terlalu biasa untuk seorang penyihir legendaris."

Harry hanya mengangguk kecil, menyembunyikan rasa sakit di balik senyum tipis.

"Aku beruntung kau di sini, Malfoy," balasnya, suaranya datar tapi penuh ironi.

Draco mendongak, matanya menyipit. "Itu terdengar seperti ejekan," katanya, bibirnya membentuk senyum dingin.

"Anggap saja aku bercanda," jawab Harry sebelum kembali ke dapur, menghindari kontak mata lebih lama.

Malam semakin larut, dan suasana apartemen hanya diisi oleh suara detak jam di dinding. Harry, dengan langkah gontai, menuju kamarnya. Wajahnya yang pucat diterangi cahaya remang dari lampu tidur.

Setiap langkah terasa berat, seolah tubuhnya membawa beban yang tak terlihat. Saat tiba di kamar, ia menutup pintu perlahan, menguncinya rapat-rapat. Pintu itu menjadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan dunia luar, juga antara dirinya dan Draco.

Harry berdiri sejenak, memegangi pinggiran meja rias untuk menahan tubuhnya yang lemas. Nafasnya berat, terengah-engah seperti baru berlari jauh. Rasa sakit yang berdenyut di kepalanya kembali menyerang, memaksanya memejamkan mata sambil meremas sisi meja untuk menahan diri agar tidak terjatuh.

Dengan tangan gemetar, ia membuka laci kecil di meja rias itu. Di sana tergeletak sebuah kotak multivitamin baru. Harry menarik napas panjang, mencoba menenangkan tubuhnya yang terasa berguncang. Ia mengambil kotak itu dan menatapnya dengan pandangan kosong.

"Bisa bertahan Harry.. bisa..," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Perlahan, ia membuka tutup kotak tersebut. Suara kecil dari plastik yang terbuka membuat hatinya semakin sesak. Ia mulai mengeluarkan kapsul multivitamin satu per satu dengan jemari yang dingin. Setiap kapsul yang ia ambil terasa berat, meski sebenarnya ringan. Ia menjatuhkannya ke tempat sampah kecil di samping meja rias, suaranya pelan tapi menusuk telinga Harry sendiri.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now