Ketika Harry berdiri untuk mengambil secangkir teh baru, Draco memandangnya dari ujung matanya.
"Aku akan butuh pakaian baru, Potter. Pakaian yang layak untuk dipakai di luar rumah ini," katanya dengan nada malas.
Harry menoleh. "Kita bisa pergi ke toko pakaian muggle. Aku tahu tempat yang bagus," jawabnya sambil berusaha terdengar ceria.
Draco menyeringai, tapi ekspresinya lebih seperti mengejek. "Muggle? Kau serius? Apa aku terlihat seperti seseorang yang akan memakai pakaian murah muggle?"
"Aku tidak yakin kau punya pilihan lain," balas Harry sambil berjalan menuju dapur.
Beberapa hari kemudian, Harry menyeret Draco ke toko pakaian muggle di sudut kota. Toko itu kecil, tapi koleksinya cukup modern. Draco tampak canggung saat memasuki toko itu, mengamati deretan pakaian dengan pandangan jijik, seolah mereka adalah kain pel.
"Kau bercanda, kan? Aku tidak mungkin memakai... kain murahan ini," keluh Draco sambil melipat tangan.
Harry tidak menjawab, hanya meletakkan beberapa pakaian ke keranjang belanjaan. Setelah mereka kembali ke rumah, Draco mencoba pakaian itu dengan wajah setengah mengeluh. Tapi saat mengenakan salah satu sweater abu-abu yang Harry pilih, ia berhenti dan menatap dirinya di cermin.
"Ini... pas sekali" gumam Draco, agak terkejut. Ia berbalik menghadap Harry, bibirnya melengkung dengan seringai penuh godaan. "Kau benar-benar tahu ukuran tubuhku, Potter. Apa ini berarti kau sering memikirkanku selama ini?"
Wajah Harry memerah seketika. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, lalu bergegas keluar kamar. Draco tertawa kecil, lalu mengejarnya dengan langkah santai.
"Hey, jangan kabur! Kita belum selesai berbicara tentang bagaimana kau tahu lingkar dadaku" godanya dengan nada usil.
Di hari-hari berikutnya, kehidupan mereka semakin penuh momen yang aneh. Draco, meski hidup di rumah Harry, tidak pernah membantu apa pun. Ia selalu menyuruh Harry melakukan segalanya. Mulai dari memasak hingga mengambilkan remote televisi, semuanya dibiarkan menjadi tanggung jawab Harry.
"Ambilkan tehku" ucap Draco suatu pagi, duduk di sofa dengan gaya malas.
Harry yang sedang memotong buah hanya menggeleng pelan. "Teh ada di dapur. Kau tahu di mana itu."
Draco menatapnya lama, lalu menghela napas dramatis. "Astaga, bagaimana kau bisa bertahan hidup sendiri sebelum aku datang? Apa kau tidak tahu rumah ini membutuhkan seorang Malfoy untuk mengaturnya?"
Harry hanya tertawa kecil, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Di saat lain, Draco sering mencoba "menguji" ingatan Harry. Ia akan menanyakan hal-hal dari masa lalu mereka di Hogwarts dengan gaya menyelidik.
"Kau masih ingat, kan, duel pertama kita di kelas Flitwick?" tanya Draco, sambil menyilangkan tangan di dada.
Harry hanya menggeleng dengan raut bingung. "Aku tidak terlalu ingat. Maaf."
Jawaban itu selalu membuat Draco gusar. Ia menatap Harry dengan tatapan frustrasi, seperti tidak percaya ada orang yang bisa melupakan dirinya. Tapi di balik kekesalannya, ada sesuatu di matanya-seperti rasa khawatir yang tak bisa ia sembunyikan.
Meski Draco sering membuat Harry kesal, Harry tidak bisa memungkiri bahwa ia masih menyukai pria itu. Ada saat-saat ketika Draco mengeluarkan komentar sinisnya, Harry hanya bisa tertawa kecil, menahan perasaan hangat yang mulai muncul lagi di hatinya.
Namun, ia tetap bertanya-tanya-apakah Draco pantas mengetahui perasaan itu? Apakah seorang guru TK seperti dirinya, dengan kehidupan sederhana dan kenangan yang samar-samar, pantas untuk menyukai pria seperti Draco Malfoy?
KAMU SEDANG MEMBACA
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 05 ~~
Mulai dari awal
