~~ Chapter 04 ~~

Depuis le début
                                        

Harry terdiam sejenak, memandang Draco dengan lebih lekat. Ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak, semacam campuran antara penasaran dan kelelahan. "Aku tidak berpura-pura," katanya akhirnya.

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan kalau kau ingin menghabiskan satu tahun untuk membuktikan aku bersalah, ya... silakan. Tapi aku rasa itu buang-buang waktumu."

Draco mengetukkan jarinya ke meja lagi, matanya menyipit tajam. "Kau tidak sadar, ya, Potter? Setiap kata yang kau ucapkan hanya membuatku semakin yakin bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Kau tahu betul apa yang sedang kau lakukan."

Harry menghela napas pelan, ekspresinya tetap polos.

"Aku tidak tahu kenapa kau begitu membenciku," katanya dengan suara pelan.

Draco tersenyum tipis, kali ini tanpa jejak humor. "Benci, Potter? Oh, ini bukan kebencian. Ini... kepuasan pribadi. Kau tahu, seperti menyelesaikan teka-teki atau membuang tikus dari rumah. Sangat memuaskan."

Harry hanya menatapnya dengan tenang, meski matanya sedikit berkedip, menunjukkan ketertegunan. "Jadi, ini semacam... hiburan untukmu?" tanyanya.

Draco mendengus. "Hiburan? Potter, kau benar-benar tidak mengerti, ya? Hidupmu ini seperti teka-teki besar. Dan aku... aku ada di sini untuk menyelesaikannya."

Harry hanya mengangguk pelan, lalu kembali menyeruput susunya. Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya memandangi Draco dengan sorot mata yang sulit diartikan. Di balik sikap tenangnya, ada sesuatu yang membuat Draco merasa... terganggu. Harry Potter mungkin terlihat polos dan datar, tapi ada sesuatu yang terasa salah-sesuatu yang membuat Draco merasa, untuk pertama kalinya, ia mungkin sedang bermain catur melawan seseorang yang tidak memegang papan.

Perjalanan Menuju Apartemen Harry

Suara mesin mobil sport Draco Malfoy memecah keheningan jalanan sore itu. Raungannya terlalu nyaring, terutama di tengah kawasan Muggle yang tenang. Mobil berwarna hitam mengilap itu melaju cepat, menarik perhatian sesekali dari para pejalan kaki.

Di dalamnya, Harry Potter duduk di kursi penumpang dengan ekspresi datar, matanya tertuju keluar jendela, mencoba mengabaikan musik rock yang menggelegar dari speaker.

Draco, mengenakan kacamata hitam yang memantulkan sinar matahari sore, tampak seperti selebriti sombong. Setiap gerakannya penuh percaya diri, bahkan saat memutar setir. Dia sesekali menyeringai, terlihat menikmati situasi jauh lebih dari Harry yang hanya bisa menghela napas pelan.

"Kau tahu, Potter," ujar Draco tiba-tiba, memecah keheningan di antara dentuman musik. "Aku tak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu berhargaku dengan seorang guru taman kanak-kanak."

Harry meliriknya sekilas. "Aku juga tidak pernah membayangkan akan hidup bersama seorang Auror yang lebih mirip vokalis band gagal," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam oleh volume musik.

Draco tertawa terbahak-bahak, membuat Harry sedikit menyesal karena berbicara. "Touché, Potter," balas Draco, mengurangi volume musik sedikit.

"Tapi hidupku, setidaknya, jauh lebih menarik daripada... ya, ini." Ia melambai asal dengan satu tangan, memberi isyarat pada keseluruhan eksistensi Harry.

Apartemen Harry

Mobil berhenti mendadak di depan sebuah bangunan apartemen tua. Cat dinding luar yang mengelupas dan jendela-jendela kecil berbingkai kayu memberikan kesan kumuh. Papan nama bangunan yang sudah memudar menunjukkan bahwa ini bukan tempat tinggal mewah-bahkan jauh dari itu.

Draco menatap gedung itu dengan ekspresi jijik. "Ini tempat tinggalmu?" tanyanya, nadanya penuh ejekan.

Harry turun dari mobil tanpa menjawab. Ia meraih tasnya dari bagasi dan melangkah menuju pintu masuk apartemen. "Ya," jawabnya akhirnya.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryOù les histoires vivent. Découvrez maintenant