"Aku benar-benar sudah gila," gumamnya, sambil mendorong gerbang.
Suasana di dalam taman kanak-kanak sangat berbeda dengan yang ia bayangkan. Dinding-dindingnya dihiasi gambar-gambar makhluk ajaib yang berwarna-warni, lantai ditutupi karpet lembut, dan suara gelak tawa anak-anak memenuhi ruangan. Draco mengernyit. Ia lebih terbiasa dengan suasana gelap dan sunyi di Departemen Auror.
"Bapak nyari siapa?" tanya seorang anak laki-laki berambut pirang, matanya berbinar penasaran.
Draco terlonjak kaget. "Eh, kamu... jangan panggil aku Bapak!" bentaknya refleks. Anak itu langsung terdiam, bibirnya berkedut menahan tangis.
"Kenapa sih anak kecil sekarang ini pada berani-berani sekali?" Ucap Draco kesal.
"Om jahat!" teriak anak lain, ikut-ikutan menangis.
Draco semakin panik. Ia tidak terbiasa berurusan dengan anak-anak, apalagi Muggle. Ia melirik sekeliling, mencari guru yang bisa membantunya.
Di Ruang guru yang penuh warna-warni. Dinding-dindingnya dihiasi gambar-gambar anak-anak yang sedang bermain, dan meja-meja guru dipenuhi dengan buku cerita anak-anak dan berbagai macam pernak-pernik lucu. Namun, suasana ceria itu tidak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang menghantui hati Harry Potter.
Duduk di mejanya, Harry menatap buku diary-nya dengan intens. Di halaman kosong, ia berusaha keras menggambarkan wajah Draco Malfoy. Pensilnya bergerak lambat, coretan demi coretan membentuk sebuah wajah yang semakin lama semakin menyeramkan. Mata Draco digambarkan sangat tajam, hidungnya mancung, dan rahangnya tegas. Harry menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak seperti itu," gumamnya. Ia mencoba lagi, tetapi hasilnya tetap saja tidak memuaskan.
"Oh, Merlin," keluhnya frustasi. Sejak bertemu Draco kemarin, pikirannya tidak pernah tenang. Ia khawatir jika Draco akan membocorkan identitasnya dan mengganggu kehidupan barunya di sini. Harry tidak ingin anak-anak didiknya tahu tentang penyakitnya. Ia ingin menjadi seorang guru yang baik, yang bisa memberikan kasih sayang dan perhatian kepada mereka.
Harry menghela napas panjang. Ia mengambil sebuah buku catatan kecil berwarna biru dan mulai membacanya. Buku catatan itu penuh dengan tulisan tangannya yang rapi, berisi jadwal mengajar, daftar nama anak didik, dan berbagai catatan kecil lainnya. Setiap kali ada sesuatu yang penting, Harry selalu mencatatnya agar tidak lupa.
Namun, belakangan ini ia merasa catatan-catatan itu tidak cukup membantu. Ingatannya semakin memburuk, dan ia seringkali lupa dengan apa yang telah ia tulis.
"Aku harus lebih berhati-hati," gumamnya.
"Aku tidak boleh membiarkan Malfoy mengetahuinya"
Suara riuh rendah taman kanak-kanak yang biasanya ceria mendadak berubah menjadi simfoni jeritan dan tawa. Harry, yang sedang menikmati secangkir teh di ruang guru, sontak terlonjak dari kursinya. Dengan jantung berdebar kencang, ia bergegas keluar ruangan. Pemandangan di hadapannya sungguh tak terduga.
Draco Malfoy, si pangeran es Hogwarts, dikenal dengan sikapnya yang angkuh dan dingin. Namun, siapa sangka hari ini ia harus bergelut dengan segerombolan malaikat kecil yang tak kenal lelah. Ibarat bidadari nakal yang menari di atas awan, anak-anak taman kanak-kanak itu berhasil mengubah sang pangeran menjadi kodok yang kelabakan. Sungguh, dunia terbalik.
Draco dengan setelan jas hitamnya yang biasanya begitu rapi, kini tengah bergelut di tengah lapangan bermain. Segerombolan anak-anak taman kanak-kanak, dengan semangat yang menggebu-gebu, sedang menarik-narik rambut pirangnya yang berkilau. Beberapa di antaranya bahkan sudah berhasil mencopot dasinya dan kini menggunakannya sebagai tali lompat.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 03 ~~
Mulai dari awal
