Draco menghela napas panjang, membuang muka. Perasaan enggan masih melingkupinya, tapi kata-kata ayahnya perlahan menancap. Ia tahu ia tidak punya pilihan lain.

"Baiklah," katanya akhirnya, meski suaranya terdengar berat. "Aku akan melakukannya. Tapi jangan harap aku akan menikmatinya."

Lucius tersenyum tipis, hampir seperti kemenangan. "Tidak perlu menikmatinya, Draco. Kau hanya perlu melakukannya dengan sempurna. Itulah cara Malfoy bertahan."

°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆

Kamar Draco Malfoy adalah perwujudan kesempurnaan aristokrat Malfoy: luas, dengan langit-langit melengkung dihiasi ukiran naga dan lambang keluarga. Jendela besar setinggi manusia dewasa memamerkan pemandangan taman Malfoy Manor yang terawat sempurna, sementara perabotan kayu gelap dan kain mewah mendominasi ruangan. Tirai beludru hijau zamrud bergelayut berat di sisi jendela, menambahkan suasana megah namun sekaligus menyesakkan.

Di tengah semua keindahan itu, Draco berdiri dengan wajah masam di depan koper terbuka yang ia lempar sembarangan di atas tempat tidurnya. Tumpukan pakaian berwarna netral-semua karya desainer terbaik dunia sihir-berserakan, sementara Draco menggerutu tidak henti-hentinya.

"Seragam Auror? Harus kubawa, tentu saja. Jangan sampai Potter pikir aku pensiun hanya karena harus tinggal bersamanya di dunia Muggle," gumam Draco, melempar seragam hitam khas Auror ke dalam koper. "Dan tongkat sihirku. Walau katanya tidak berguna di sana, tetap saja, siapa tahu aku harus mengutuk seseorang diam-diam."

Ia mendengus pelan, meraih beberapa berkas resmi yang ia perlukan. Mata kelabunya melirik daftar tugas yang dituliskan Kementerian. "Mengawasi Potter, katanya. Mungkin aku akan memergokinya melakukan sesuatu yang... apa istilahnya? Ilegal? Oh, andai saja dia melanggar hukum sihir, aku bisa menyeretnya ke Azkaban sendiri! Bayangkan wajah Menteri Sihir saat mereka harus berterima kasih pada Draco Malfoy karena menyelamatkan dunia sihir lagi."

Senyumnya menyeringai, penuh rasa percaya diri yang baru muncul. "Mungkin aku bahkan bisa menggantikan Potter sebagai pahlawan besar dunia sihir. 'Draco Sang Penyelamat.' Kedengarannya jauh lebih elegan, bukan?"

Ia berhenti sejenak, membayangkan skenario itu dengan detail: Harry Potter yang dipenjara, terpuruk dan kalah, sementara dirinya berdiri di atas podium di depan Wizengamot, menerima penghargaan tertinggi. "Tentu saja, semua orang akan mencintai aku... kecuali mungkin Granger dan Weasel. Tapi siapa peduli?"

Namun, fantasi itu terhenti saat pikirannya melompat ke kenyataan bahwa Potter sekarang hanyalah seorang guru taman kanak-kanak. Draco terdiam, kemudian tertawa sinis. "Guru TK? Oh, Merlin, sungguh merosot. Apakah dia mengajarkan cara anak-anak menggambar bintang-bintang di langit dengan krayon?"

Draco menertawakan imajinasinya sendiri, semakin keras, hingga ia terbahak. Ia melemparkan satu set pakaian kasual Muggle yang baru ia beli ke dalam koper-pilihan warna gelap dan sederhana yang menurutnya cukup netral untuk tidak menarik perhatian.

"Aku bisa membeli pakaian baru jika perlu," katanya, setengah kepada dirinya sendiri.

"Tentu saja, tidak ada toko sihir berkualitas di sana. Muggle punya rasa mode yang... mengerikan. Tapi aku akan bertahan. Aku Malfoy."

Dia kemudian mulai mengoceh lagi, kali ini lebih pelan namun penuh sarkasme, sambil memasukkan perlengkapan mandi mewahnya ke dalam tas kecil. "Mungkin aku harus memberikan Potter sedikit pelajaran tentang perawatan diri. Rambutnya yang berantakan itu mungkin cukup untuk membuat Muggle mengira dia tunawisma."

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now