Lucius mengangkat alisnya sedikit, sikapnya tenang seolah tak tergoyahkan oleh ledakan emosi putranya. Dengan gerakan lambat, ia mengambil surat itu dan membacanya, meski jelas ia sudah tahu isinya.
"Mempermainkan kita, katamu?" Lucius mendongak, menatap langsung ke mata Draco. "Kementerian tidak bermain-main, Draco. Kau tahu betapa pentingnya tugas ini."
"Tugas? Kau menyebut ini tugas?" Draco melangkah maju, membentangkan tangannya ke arah surat itu.
"Mengawasi Potter bermain guru taman kanak-kanak? Di tengah kota Muggle yang kumuh? Itu penghinaan bagi nama Malfoy."
Lucius meletakkan surat itu perlahan, jemarinya mengetuk meja kayu dengan irama teratur, seperti detak waktu yang mengingatkan Draco akan ketidaksabarannya.
"Penghinaan? Atau kesempatan?" tanyanya dengan suara rendah namun tajam.
Draco mendengus sinis. "Kesempatan untuk apa? Merendahkan diri di dunia yang tak mengenal sihir? Menonton bocah-bocah beringus sambil menahan rasa muak setiap kali Potter tersenyum bodoh? Ini lelucon, Ayah. Dan aku tidak akan melakukannya."
Lucius bersandar di kursinya, ekspresinya tidak berubah. "Kau tidak akan melakukannya? Dan apa rencanamu, Draco? Menolak perintah langsung dari Kementerian? Kau tahu betapa buruknya dampaknya bagi keluargamu. Bagi nama kita."
"Ayah, ada banyak Auror lain yang lebih cocok!" Draco mengangkat suaranya, frustrasi. "Kenapa harus aku? Mereka bilang Potter mungkin Obscurus? Itu konyol. Dia-"
Lucius mengangkat satu tangan, menghentikan Draco dengan gerakan sederhana namun otoritatif. "Kementerian punya alasannya. Kau tahu itu, dan aku tahu itu. Mereka tidak akan memilihmu tanpa pertimbangan matang. Kau adalah Auror terbaik di angkatanmu, dan-"
Lucius berhenti, menatap Draco dengan tajam, "kau punya sejarah dengan Potter. Hubungan itu memberi mereka kepercayaan bahwa kau bisa mendekatinya lebih baik daripada siapa pun."
"Sejarah?" Draco mendecak. "Sebut saja itu masa lalu yang suram. Tidak ada apa pun di antara kami selain kebencian dan penghinaan."
"Betul," Lucius mengangguk pelan, "dan itu justru yang membuatmu ideal. Kau mengenalnya, Draco. Lebih dari sekadar nama atau reputasinya sebagai penyelamat dunia sihir. Kau tahu kelemahannya, caranya berpikir. Kau bisa menilai dia tanpa ilusi atau rasa hormat yang berlebihan."
Draco terdiam sejenak. Ia tidak bisa membantah logika itu, meskipun hatinya masih bergolak.
"Tapi mengapa aku harus meninggalkan Hogwarts? Dunia sihir? Hidup di tengah Muggle?" Ia menekan nada suaranya, meski masih terdengar penuh rasa jijik.
"Aku seorang Malfoy, Ayah. Aku bukan pelayan Kementerian yang siap dijadikan pion."
Lucius memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit. "Seorang Malfoy tahu kapan harus tunduk demi keuntungan yang lebih besar. Kau adalah pion sekarang, ya, tapi pion itu punya peluang untuk menjadi raja dalam permainan ini. Setahun bukan waktu yang lama, Draco. Jika kau melakukannya dengan baik, pengaruhmu di Kementerian akan meningkat. Dan..."
Lucius menyeringai tipis. "jika Potter memang menyimpan bahaya, kau akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Itu adalah kekuatan yang tidak boleh kau abaikan."
Draco menelan ludah, menggenggam kuat kursi di depannya. "Dan jika tidak ada apa-apa? Jika semua ini hanya buang-buang waktu?"
Lucius berdiri perlahan, auranya yang mendominasi memenuhi ruangan. Ia melangkah mendekati Draco, hingga mereka berdiri berhadapan. "Maka kau akan kembali dengan kemenangan yang berbeda, Draco. Kau akan menunjukkan bahwa kau bisa bertahan, beradaptasi, bahkan di tempat yang paling tidak bersahabat. Itu adalah kemenangan seorang Malfoy."
KAMU SEDANG MEMBACA
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 03 ~~
Mulai dari awal
