Narcissa menatap putranya dengan tatapan penuh belas kasih, namun juga tegas. "Draco, kau tidak tahu apa yang terjadi pada Harry selama ini. Kau tidak tahu apa yang dia rasakan. Kau tidak tahu seberapa dalam luka yang mungkin masih dia bawa."
Draco memalingkan wajahnya, menatap jendela dengan rahang yang masih mengeras. "Luka? Dan apa yang dia pikirkan tentang kita? Tentang keluarga kita? Apakah dia masih menganggap kita semua monster, bahkan setelah kita mencoba memperbaiki semuanya?!"
Narcissa menghela napas, melipat kedua tangannya di depan dada. "Mungkin dia punya alasan, Draco. Kau tahu apa yang dia lalui selama perang. Mungkin dia mencoba melupakan masa lalu."
Draco mendengus sinis, berdiri dari kursinya dengan gerakan tiba-tiba. Matanya menyala penuh kemarahan.
"Melupakan itu satu hal, Ibu. Tapi berpura-pura? Itu hal lain. Dia berbohong, dia munafik. Dan aku benci orang seperti itu."
Narcissa mencoba menenangkan dirinya, menatap putranya dengan penuh kesabaran. "Draco, kau tidak tahu apa yang dia rasakan. Kau tidak tahu apa yang membuatnya mengambil keputusan seperti itu."
"Keputusan untuk berpura-pura bodoh? Keputusan untuk menatapku seperti aku ini udara? Tidak, Ibu. Itu bukan keputusan. Itu penghinaan."
Suara Draco meninggi, tangannya terangkat dengan frustrasi.
Narcissa menghela napas panjang, berusaha menjaga ketenangannya.
"Draco, dengarkan aku. Harry mungkin tidak bermaksud seperti itu. Kau tahu dia—dia selalu punya alasan untuk apa yang dia lakukan. Jangan terlalu cepat menyimpulkan."
Draco menatap ibunya dengan mata menyala penuh dendam. "Alasan? Kau ingin aku percaya bahwa dia punya alasan untuk memperlakukanku seperti itu? Setelah semua yang kulakukan, setelah semua usaha keluargaku untuk berubah, dia masih memperlakukan kita seperti ini? Tidak, Ibu. Aku tidak akan membiarkannya."
"Draco..." Narcissa mencoba menyela, tapi putranya melanjutkan dengan nada yang lebih tajam.
"Aku akan memastikan dia mengenaliku," ucap Draco dengan suara rendah, hampir seperti bisikan, tapi penuh dengan tekad gelap.
"Aku akan memastikan dia tidak bisa lagi berpura-pura. Jika dia ingin melupakanku, aku akan menjadi seseorang yang tak mungkin dia lupakan. Aku tidak peduli jika itu berarti membuatnya menderita."
Narcissa tercengang. Ia memandang putranya, mencoba memahami gejolak emosi yang terpancar dari matanya. "Draco, kau berbicara seolah kau ingin membalas dendam padanya. Apa itu yang kau inginkan? Apa itu yang benar-benar kau rasakan?"
Draco terdiam, rahangnya mengeras. Ia memalingkan wajah, menatap jendela dengan pandangan kosong.
"Aku tidak tahu, Ibu," jawabnya akhirnya, suaranya lebih pelan tapi tetap penuh dengan emosi yang tertahan.
"Yang aku tahu, aku tidak bisa menerima ini. Aku tidak bisa menerima kebohongannya. Aku tidak bisa menerima cara dia berpura-pura aku tidak pernah ada."
Narcissa melangkah mendekat, mencoba meraih bahu putranya. Tapi Draco menghindar, berjalan ke arah pintu dengan langkah cepat.
"Draco," panggil Narcissa, suaranya penuh dengan kekhawatiran.
"Jangan biarkan rasa bencimu menghancurkanmu."
Draco berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh dengan senyum sinis.
"Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkanku, Ibu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja."
Ia keluar dari toko tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan Narcissa yang hanya bisa berdiri terpaku, hatinya berat oleh kekhawatiran. Di luar, angin malam berhembus dingin, tapi di dalam hati Draco, api amarah dan kebencian terus berkobar, siap membakar apa saja yang menghalanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 02 ~~
Mulai dari awal
