"Tunggu, tidak. Dengar-" Draco berusaha meraih Harry, namun tatapan ketakutan di mata Harry membuatnya terhenti. Dengan perlahan, ia menurunkan tangannya, perasaan bersalah mulai menyelimuti hatinya.
Pikirannya berkecamuk. Apa yang telah ia lakukan? Apakah ia telah membuat Harry merasa takut? Dengan suara yang serak menahan kesal, ia mencoba menjelaskan.
"Kenapa kau menghilang selama lima tahun?" ucap Draco, suaranya bergetar menahan keharuan.
Harry terpaku di tempatnya. Pertanyaan itu bagaikan pukulan telak yang membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia menatap Draco dengan mata yang kosong, berusaha keras untuk mengingat. Namun, otaknya terasa seperti kabut tebal, samar-samar ia menangkap bayangan masa lalu yang kelam.
"Aku... aku tidak.." jawab Harry lirih, suaranya terdengar parau. Ia mundur selangkah, matanya mencari perlindungan. Saat bus yang ditunggunnya datang, tanpa ragu ia langsung masuk ke dalam.
Draco hanya bisa berdiri di tempat, menatap kosong ke arah bus yang perlahan menjauh. Rasa hampa menyelimuti seluruh dirinya. Apakah ia telah salah orang? Ataukah, memang benar Dia bukan orang yang ia cari? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya.
Langit mulai gelap ketika Draco memasuki toko bunga milik ibunya. Aroma mawar dan melati memenuhi udara, bercampur dengan wangi khas tanah basah dari pot tanaman di sudut ruangan. Narcissa sedang merapikan rangkaian bunga lili putih di meja, mengenakan apron hijau lembut yang tampak kontras dengan rambut pirangnya yang anggun. Suara langkah berat Draco membuatnya menoleh.
"Draco," sapa Narcissa lembut, tapi segera menyadari ekspresi putranya yang kusut. Ia menatap kantong belanjaan yang dibawa Draco—berisi kotak semangka besar—dan mengerutkan kening.
"Siapa yang membantumu memilih? Kau tidak pernah tahu mana yang manis."
Draco meletakkan kantong itu di meja dengan kasar, lalu menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat. Ia memijat pelipisnya dengan frustasi, matanya penuh dengan kebingungan dan kemarahan yang terpendam.
"Potter yang memilihkannya untukku," gumamnya pelan.
Narcissa tertegun, tangan yang sedang memegang tangkai bunga berhenti di udara. "Potter? Maksudmu... Harry Potter?" tanyanya dengan hati-hati, suaranya nyaris berbisik.
Draco mengangguk, rahangnya mengeras.
"Aku yakin itu dia. Wajahnya, suaranya, cara dia berbicara. Itu dia, Ibu. Tapi..." Ia menggeram, menekan ujung jari ke dahinya, seolah mencoba mengusir rasa frustasi.
"Dia berpura-pura tidak mengenalku. Dia bahkan tampak ketakutan. Bagaimana mungkin?!"
Narcissa perlahan meletakkan bunga yang dipegangnya, menatap putranya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan rasa khawatir.
"Draco, kau yakin itu dia? Mungkin itu hanya seseorang yang mirip—"
"Tidak, Ibu!" potong Draco tajam, berdiri dari kursi dengan gerakan tiba-tiba yang membuatnya hampir menjatuhkan vas di meja.
"Aku tahu dia! Aku melihatnya dengan jelas. Setiap detailnya. Cara dia berbicara, cara dia tersenyum lugu saat memilih semangka bodoh itu. Itu Harry Potter! Tapi dia memperlakukanku seperti... seperti aku orang asing!"
Narcissa menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum menanggapi. "Mungkin dia punya alasan, Draco. Kau tahu apa yang dia lalui selama perang. Mungkin dia belum siap—"
"Tidak siap?!" Draco membanting tangannya ke meja, membuat beberapa kelopak bunga jatuh. "Sudah lima tahun, Ibu! Lima tahun aku tidak mendengar kabar apa pun darinya, dan sekarang dia muncul, berpura-pura tidak mengenalku? Apa dia pikir aku bodoh? Apa dia pikir aku tidak bisa melihat kebohongannya?"
YOU ARE READING
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 02 ~~
Start from the beginning
