"Ah, menjadi seorang guru TK ternyata tidak semudah yang ku kira," gumamnya. Ia mencoba mengingat nama anak-anaknya, namun hanya beberapa nama yang teringat dengan jelas.

Harry yang sudah berada di ruang guru, merapikan pakaiannya bersiap untuk pulang. Ia berdiri di depan cermin, mengamati penampilannya. Beanie, masker, dan syal rajutannya membuatnya terlihat seperti seorang penjelajah kutub yang tersesat di kota. Ia tertawa kecil, namun tawanya terdengar kosong.

"Mungkin aku harus membuat label untuk diriku sendiri: 'Jangan ganggu, sedang dalam mode hibernasi'," candanya. Namun, candaan itu tidak membuat hatinya merasa lebih baik.

Harry menggigil sejenak, tangannya merogoh saku jaket tebal mencari bungkus tisu. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, membuat hidungnya terasa perih. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara yang terasa menusuk paru-parunya. Flu yang ia derita beberapa minggu lalu masih menyisakan bekas yang cukup dalam.

"Kenapa ya cuaca akhir-akhir ini dingin sekali?" gumamnya sambil berjalan menuju pusat kota. Perutnya keroncongan, pertanda sudah waktunya mengisi perut. Hari ini, hari gajian, jadi ia berencana akan memasak sesuatu yang istimewa. Namun, ia tidak ingat apa yang ingin dimasaknya.

Saat melintasi pusat kota, matanya tertuju pada sebuah toko bunga yang ramai itu. Dia sering melewati toko ini, namun dia tidak pernah ingat kapan terakhir kali ia melihatnya. Papan nama besar bertuliskan 'Cissa Florist' terpampang jelas di depan toko. Nama itu terdengar familiar, tapi ia tak bisa mengingat di mana pernah mendengarnya.

"Cissa... Cissa..." gumamnya sambil mengerutkan kening. "Nama yang indah." Ia mencoba menghubungkan nama itu dengan suatu kenangan, namun pikirannya kosong.

Harry berhenti sejenak, memperhatikan keindahan bunga-bunga yang dipajang di etalase. Berbagai warna dan jenis bunga bermekaran dengan indah, menciptakan pemandangan yang menawan. Namun, seketika ingatan akan alerginya membuatnya mundur beberapa langkah.

"Ah, sialan! Kenapa harus sekarang aku melihat toko bunga yang seindah ini?" rutuknya dalam hati. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Padahal aku ingin sekali menaruhnya di vas di rumah."

"Tapi Aku Alergi serbuk bunga..Sungguh menyedihkan..." gumam Harry kesal sambil menggaruk hidungnya. Ia ingat pernah mengalami reaksi alergi yang sangat parah setelah menghirup serbuk bunga, namun ia tidak bisa mengingat kapan dan di mana kejadian itu terjadi.

Harry mendorong troli belanjaannya dengan santai, matanya berbinar-binar saat melihat rak buah-buahan.

"Ah, betapa menyenangkannya hidup tanpa harus khawatir akan kutukan atau serangan makhluk jahat," gumamnya sambil memilih beberapa apel merah yang mengkilat.

Suasana supermarket yang tenang membuat Harry merasa nyaman. Cahaya lampu yang lembut menerangi setiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang hangat. Ia bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang terputar dari speaker di atas. Namun, lagu yang sedang ia nyanyikan, ia tidak ingat judulnya.

Saat sedang memilih semangka, Harry memperhatikan seorang pria tinggi besar sedang berdiri di depannya. Pria yang mengenakan topi cap hitam dan mantel panjang berwarna hitam yang membuatnya terlihat misterius. Ia tampak kebingungan memilih antara dua buah semangka yang ukurannya hampir sama.

"Permisi," sapa Harry ramah. "Bingung mau pilih yang mana?"

Pria itu masih fokus menatap semangka. "Ah, ya. Aku memang sedikit bingung. Kedua semangkanya terlihat sama bagusnya. Jika aku memilih yang tidak enak Ibu ku akan mengetuk kepala ku," ujarnya sambil tersenyum kecil.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now