Setelah beberapa saat mencari, Draco akhirnya menemukan satu tangkai mawar merah yang sempurna. Kelopaknya lembut dan berwarna merah menyala, seperti hati yang sedang jatuh cinta. Ia mengambil mawar itu dengan hati-hati, lalu menyerahkannya kepada gadis remaja tersebut.

"Nih, bunga mawar merahmu. Simpan baik-baik. Jangan sampai layu sebelum hubungan kalian kandas" ucap Draco sambil menyeringai.

Gadis itu menerima bunga itu dengan wajah memerah. "Terima kasih. Dan, Tuan Muda, jangan terlalu pesimistis."

Draco hanya menyeringai. "Siapa yang pesimistis? Aku hanya realistis."

Gadis itu membayar bunga tersebut, lalu berlalu dengan langkah ringan, membawa serta sekuntum mawar merah dan senyum manis di wajahnya. Draco menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum tipis.

"Anak-anak zaman sekarang," gumamnya sambil kembali merapikan bunga-bunga di tokonya.

"Ibu, aku sudah capek. Bolehkah aku pulang sekarang?" tanya Draco.

Narcissa tersenyum. "Tentu saja, sayang. Tapi besok kamu temankan ibu Lagi ya, bunga ibu laris karena ada Putra tampan.."

Draco mengernyit. "Apa-? Lagi-!??"

Narcissa tertawa "Oh ayolah kau kan sedang libur panjang sebagai Profesor "

Draco menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah pintu kaca toko. Cahaya sore menyinari wajahnya yang mulai terlihat kelelahan.

"Ibu, aku sudah bilang, aku lebih suka meracik ramuan daripada menjual bunga-bunga ini."

Narcissa tertawa renyah, matanya berbinar senang. "Ah, anakku yang satu ini. Memang lebih cocok jadi penjual bunga daripada profesor. Lihat saja, para pelanggan wanita semua terpukau padamu."

Draco mendengus sinis. "Terpukau? Atau lebih tepatnya terkejut melihat seorang Malfoy berpakaian seperti penjual bunga?"

"Jangan terlalu pesimis, Nak. Ibu punya firasat, kau akan menjadi idola baru para wanita di kota ini," ujar Narcissa sambil mengedipkan sebelah mata.

Draco menggelengkan kepala tak percaya. "Ibu ini, suka sekali bercanda."

"Ini bukan bercanda, Draco. Ibu serius. Kau tahu kan, banyak sekali gadis-gadis muda yang mengagumimu. Bahkan ada yang sampai meminta tanda tanganmu."

"Tanda tangan? Untuk apa?" tanya Draco dengan nada bingung.

"Ya, untuk kenang-kenangan. Mereka bilang kau tampan sekali," jawab Narcissa sambil tersenyum lebar.

Draco semakin merasa risih. Ia meraih celemek bunganya dan melemparkannya ke atas meja. "Sudahlah, Ibu. Aku tidak mau membahas hal ini lagi. Aku ingin pulang."

"Sabarlah sebentar lagi, Nak. Nanti ibu buatkan teh earl grey kesukaanmu," bujuk Narcissa.

Draco menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa menolak permintaan ibunya. Akhirnya, ia duduk di bangku kecil di dekat jendela, mengamati lalu lalang orang di jalan.
Dalam hati, Draco berpikir,

"Apa yang sebenarnya terjadi pada hidupku? Dari seorang pewaris keluarga Malfoy yang angkuh, aku menjadi seorang penjual bunga yang dikelilingi oleh para wanita-wanita histeris."

°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆.ೃ࿔*:・°❀⋆

Harry menarik napas dalam-dalam, menghirup udara dingin sore yang menusuk kulitnya. Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Menghadapi sekelompok anak berusia lima tahun memang menguras energi. Ia tersenyum tipis mengingat tingkah lucu para muridnya saat belajar menghitung. Namun, senyum itu terasa hambar di bibirnya. Semakin hari, ingatannya tentang anak-anak itu semakin kabur.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now