"ᴍᴀʟғᴏʏ, ᴀᴘᴀ ʀᴇɴᴄᴀɴᴀ ᴀɴᴅᴀ sᴇʟᴀɴᴊᴜᴛɴʏᴀ sᴇʙᴀɢᴀɪ ᴀᴜʀᴏʀ?"

"ᴘʀᴏғᴇsᴏʀ ᴍᴀʟғᴏʏ, ʙᴀɢᴀɪᴍᴀɴᴀ ʀᴀsᴀɴʏᴀ ᴍᴇɴɢᴀᴊᴀʀ sᴀᴍʙɪʟ ᴛᴇᴛᴀᴘ ᴍᴇɴᴀɴɢᴀɴɪ ᴍɪsɪ ʙᴇʀʙᴀʜᴀʏᴀ?"

"ᴛᴜᴀɴ ᴍᴀʟғᴏʏ, ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴀɴᴅᴀ ᴘᴜɴʏᴀ ᴋᴏᴍᴇɴᴛᴀʀ ᴛᴇɴᴛᴀɴɢ ᴋᴇʙᴇʀᴀᴅᴀᴀɴ ʜᴀʀʀʏ ᴘᴏᴛᴛᴇʀ?"

Pertanyaan terakhir itu membuat langkah Draco terhenti. Ia berbalik, menatap wartawan yang bertanya dengan tatapan tajam. Kamera berhenti sejenak, suasana menjadi hening.

"Tidak ada yang tahu di mana Harry Potter berada," jawab Draco akhirnya, suaranya dingin, tetapi ada ketegangan di balik kata-katanya. "Dan itu bukan urusan siapa pun kecuali dirinya sendiri."

Ia melanjutkan langkahnya tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, meninggalkan para wartawan yang tertegun.

Namun, di dalam dirinya, ada gejolak yang tak bisa ia abaikan. Harry telah menghilang selama lima tahun, sejak malam itu. Malam ketika mereka berpisah di bawah langit yang gelap, penuh emosi yang tidak pernah terselesaikan.

Di malam-malam yang sepi, Draco sering kali duduk di ruang kerjanya di Hogwarts. Ruangan itu sederhana, dengan meja kayu besar yang dipenuhi buku-buku mantra dan ramuan. Vas bunga lily putih selalu ada di sana, berdiri di tengah meja, memberikan sentuhan lembut pada ruangan yang gelap dan tenang.

Ia sering termenung di depan vas itu, memandangi kelopak bunganya yang putih bersih. Bunga itu adalah simbol dari kenangan yang tidak bisa ia lepaskan, simbol dari seseorang yang telah pergi dari hidupnya.

Malam itu, Draco membaca Daily Prophet dengan perasaan campur aduk. Di salah satu kolom kecil, ada laporan tentang Harry Potter dengan spekulasi yang menghebohkan. Judul besar berbunyi:

"𝐀𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐏𝐨𝐭𝐭𝐞𝐫 𝐓𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐌𝐚𝐭𝐢?"

Artikel itu menambahkan bahwa inilah alasan mengapa tak ada seorang pun yang menemukan Harry sejak perang berakhir.

Draco Malfoy, yang membaca berita itu di ruang kerjanya di Hogwarts, mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya tegang, matanya abu-abu yang biasanya tenang kini penuh dengan kemarahan dan rasa tidak percaya.

"Omong kosong" desisnya pelan, tetapi suara itu penuh emosi.

Ia melempar surat kabar itu ke meja dengan kasar, sebelum berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruangan kecilnya. Udara terasa lebih dingin, seperti suasana hatinya yang berkecamuk.

Selama lima tahun terakhir, Draco telah mencoba menjalani hidupnya. Sebagai Guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam di Hogwarts dan juga sebagai Auror Kementerian Sihir, ia telah menjadi simbol transformasi. Nama Malfoy yang dulunya penuh kebencian kini mulai dihormati kembali, tetapi di balik semua pencapaiannya, ada luka yang tak pernah sembuh.

Harry Potter.

Draco memejamkan mata, menggenggam sisi meja dengan erat. Rasa bersalah menyeruak, mencengkeram dadanya. "Harry..." bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Malam itu, Draco tidak bisa tidur. Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang sama sejak lima tahun lalu. Mengapa Harry pergi? Mengapa ia tidak mencoba mencarinya?

Ia berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang gelap. Tangan kanannya mengepal, dan matanya basah oleh air mata yang ia coba tahan.

"Mungkin kau tidak pernah memaafkanku," gumamnya. "Dan mungkin aku tidak pantas dimaafkan."

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now