"Ron. Rambut merah. Tertawa keras."
Tapi setelah itu, ia tak bisa menulis apa-apa lagi. Air mata mulai mengalir di pipinya. Harry membuang pena itu sekali lagi dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Kenapa aku melupakan mereka? Mereka adalah segalanya bagiku..."
Setiap sudut apartemennya adalah pengingat akan perjuangan yang sedang ia jalani. Buku-buku tentang sihir, yang dulu menjadi teman setianya, kini lebih sering tertutup debu. Setiap kali ia mencoba membaca, kata-kata itu terasa seperti mantra asing yang tak lagi ia kenal.
Namun, di tengah semua kesulitan itu, Harry tidak sepenuhnya menyerah. Ia mencoba menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang teratur, meskipun rutinitas itu sering terganggu oleh rasa lupa. Papan tulisnya selalu diisi ulang, sticky notes selalu diperbarui, dan buku catatannya terus diisi meskipun dengan frasa-frasa sederhana.
Malam itu, sebelum tidur, Harry menatap cermin di atas meja. Retakan kecil di sudutnya membuat pantulannya terlihat pecah-pecah.
"Kau masih di sini," katanya pelan, berbicara pada bayangan dirinya sendiri. "Kau masih Harry Potter. Kau masih bertahan."
Sambil menatap cermin, ia mengangkat pena dan menulis satu catatan lagi di sticky note kuning:
"Aku masih hidup. Aku akan bertahan."
Dengan catatan itu, ia menempelkannya di cermin, memastikan ia bisa melihatnya setiap pagi. Karena meskipun kenangan-kenangan itu perlahan memudar, tekad Harry untuk terus berjuang tetap ada—meskipun hanya di sudut-sudut kecil pikirannya yang masih ia pertahankan.
Harry menarik napas dalam-dalam, berusaha menikmati udara malam itu. Tapi napasnya pendek, terasa berat dan sesak. Kepalanya mulai berdenyut lagi. Rasa sakit yang akrab itu datang tanpa peringatan, seperti tamu tak diundang yang sudah terlalu sering mengetuk pintunya.
Ia melangkah perlahan ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguk obat yang harus diminumnya setiap hari. Pil-pil kecil itu, dalam segala keheningan, adalah garis pertahanan terakhir melawan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuh dan pikirannya.
"Hanya untuk meredakan, bukan menyembuhkan," gumamnya, suara seraknya nyaris tenggelam dalam keheningan.
Harry menghabiskan sebagian besar harinya dalam kesendirian. Sticky notes menghiasi hampir setiap sudut apartemen: di dinding, di cermin kamar mandi, di samping tempat tidur. Masing-masing berisi pengingat kecil yang ia tulis sendiri—minum obat, beli roti, coba ingat siapa dirimu.
Namun, sering kali ia menatap catatan-catatan itu dengan perasaan hampa. "Aku tahu aku menulis ini... tapi untuk apa?" gumamnya pelan, mengelus salah satu catatan yang bertuliskan
'Hogwarts adalah rumah'.
Hidup tanpa tongkat sihir terasa aneh, tetapi tongkat itu kini hanya tersimpan rapi di laci meja.
"Untuk apa lagi?" katanya pada dirinya sendiri suatu malam, saat mencoba mengambil tongkat itu.
"Mantra-mantra itu tak lagi berarti bagiku." Ia meletakkannya kembali dengan perasaan campur aduk antara kerinduan dan kekecewaan.
Harry menatap ke luar, mencoba melarikan diri dari pikirannya sendiri, namun bayangan masa lalu terus menghantuinya. Nama-nama yang dulu akrab kini terasa jauh. Hermione dan Ron. Ia berusaha mengingat wajah mereka, suara tawa Ron yang riuh, dan nada lembut Hermione saat memberikan saran. Namun, kenangan itu semakin kabur, seperti debu yang tertiup angin.
Hermione dan Ron kini menjalani kehidupan yang bahagia bersama anak-anak mereka. Hermione, seperti yang selalu Harry bayangkan, berhasil mencapai puncak kariernya. Ia sekarang menjabat sebagai Kepala Departemen Penegakan Hukum Sihir, posisi yang ia raih dengan kerja keras dan kecerdasan tanpa batas. Ia dikenal sebagai pemimpin yang tegas tetapi adil, yang selalu memperjuangkan keadilan bagi semua makhluk di dunia sihir.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fiksi Penggemar𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
~~ Chapter 01 ~~
Mulai dari awal
