Daily Life as A Wife

804 137 29
                                    

Pagi guys, abis satu chapter ke depan, aku mau bertapa lagi ya😂😂😂 udah abis stok ceritanya😂😂😂

Mohon bersabar sama Beruang Hibernasi kek saya ini, yaa💁💁🙇🙇

Anyway, happy reading🥰🥰, nanti habis Hibernasi, spoiler ahead. Gue bawain konflik😂😂😂😂😂😂😂😂🤣🤣

 Gue bawain konflik😂😂😂😂😂😂😂😂🤣🤣

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.






Becky telah menatap tatanan studio kerja Freen sejak satu jam lalu. Kini ia duduk di salah satu sofa di ujung ruangan, yang di isi dengan selimut dan bantal.

Yang buat ia sadar, ‘oh, itu kenapa Kakak bisa seharian disini’.

Dengan satu kamar mandi kecil di dekat ruang percetakan foto di seberang sana, ia juga menatapi semua lukisan yang terpajang di dinding, terutama gambar wajahnya yang besarnya hampir setinggi badan.

Hehmp. Kamu jelas naksir berat padaku ya, Bapak?

Becky tersenyum sambil menggeleng, menunduk untuk melihat wajah Freen yang kini tidur di pangkuannya. Napasnya sudah tenang sejak setengah jam lalu. Setelah mereka berbincang banyak hal di tempat ini. Sampai kemudian berada di posisi begini. Dengan dia yang kini lelap dalam pangkuan.

Mengingat lagi satu jam sebelumnya, bagaimana Freen mulai membuka diri tanpa perlu lagi ia bertanya-tanya.

“Aku tidak depresi.” Dia bilang begitu.
Becky jelas heran tapi ia cuman diam karena masih menunggu penjelasan.

“Aku tidak betulan mengalami depresi. Semua kekacauan dalam setahunan ini hanyalah pergulatanku untuk mempertahankan diri.”

“Ehm.” Becky menggeleng, masih tak paham. Ia juga punya banyak pertanyaan soal hal ini sebab mereka beberapa kali berbagi ingatan. Namun ingatan itu rata-rata tidak jelas, beberapa ia lupa. Tapi ia akan mendengar dengan sabar apapun ceritanya.

“Aku tahu ini jelas susah buat dimengerti. Tapi aku akan kasih tahu pelan-pelan biar kamu tidak kaget.”

“Apa ...” Becky selipkan sedikit rambut ke kuping, menarik sedikit napas dengan mata sedikit memicing. “Ini sesuatu yang buruk?”

Becky mungkin jadi sedikit khawatir.


~~*~~


Apakah ada yang berubah?

Jawaban yang bakal Becky jawab adalah, tentu saja. Perubahannya sangat jelas.
Saking jelas dan betapa bedanya hubungan mereka sekarang dari minggu lalu. Kini, ia bisa mendengar seorang Freen tertawa. Bukan tertawa tidak jelas dan garing ala Om-Om. Tapi tawa yang sampai keluar air mata hingga rasanya pengin pipis di celana.

Cuman karena apa? Cuman karena Becky pakai lipstik merah hati. Yang dikatainya seperti merah-hitam-legam bagai vampir yang habis hisap darah binatang.

“Kakak!” Becky membentak sambi mencubit lengannya. Tega sekali dia ini tertawakan dirinya. Padahal ia sudah percaya diri bakal dipuji cantik, bukan pas selesai dandan, malah disambut dengan tawa penuh ledekan dari mulutnya.

“Kamu jangan pakai lipstik merah begitu.” Freen menghapus setitik air mata dari pelupuk. Mencoba hilangkan apapun yang membuatnya terasa begitu lucu, saksikan si muka bayi ini pakai lipstik merah legam seperti pakai bibir palsu.

“Tapi aku suka!” Becky tidak terima, padahal ini warna yang bagus. Bukankah orang dewasa suka pakai lipstik merah begini? Tapi kenapa dia malah ketawain?

“Sayangku, your lips are already great. Tidak perlu pakai yang semerah itu. Bibir kamu jadi seperti habis dioperasi loh, kelihatan tidak nyata.” Karena cara makainya yang juga melebihi batas sudut bibir mungilnya.

“Tahu, ah! Kakak jahat!” Becky akhirnya balik masuk kamar, tak lupa menggebrak pintu hingga rapat. Lalu melipat tangan di dada sambil berkaca, sekaligus berpikir apakah iya? Kalau bibirnya malah jadi kelihatan palsu?

Ia monyongkan polesan bibirnya ke cermin, tapi malah jadi kelihatan seperti Ondel-ondel Live Action.

Sialan. Hehmp!

Bukan cuman melihatnya tertawa. Becky juga bisa saksikan kalau Kakak slash Suaminya yang serba bisa. Juga manusia biasa. Yaitu melakukan kesalahan. Yang sebetulnya sederhana, tapi bikin dirinya rada marah.

“Yah, sayang. Kopinya tumpah.” Freen bilang dari arah ruang tamu, berdiri dengan secangkir kopi panas yang baru Istrinya buat. Kepalanya menunduk memandangi bantal sofa yang kini basah menggelap, karena ketumpahan minuman yang dipegangnya.

“Hah?” Becky yang baru saja mau lanjut dengan apapun itu di atas meja dapur, dengan laptop terbuka dan buku catatan di sampingnya. Kini datang hampiri untuk melihat apa yang baru saja wanita itu lakukan.

Lalu tahu-tahu melotot ketika melihat noda kehitaman itu menodai bantal yang mana.

“Kak, itu bantal IKEA-ku.”

“Itu kenapa aku mengadu.” Freen garuk kepala—dengan tangan masih pegang minuman, tapi sedikit dari gerakannya justru menumpahkan kopi yang tinggal setengah, lalu mengotori pakaian hingga lantainya.

“Ah, panas!” Freen buru-buru meletakkan cangkir kopi di atas meja, untuk mengibas kaos putihnya yang kini bernoda hitam sama.

“Kakak! Astaga!” Becky mesti menjagal si Tua itu untuk tidak bergerak banyak atau dia bakal jatuh karena meja di belakang tubuhnya yang sempat menubruk belakang betis.

Stop. Don’t move!”

“Panas, sayang!”

I know!” astagaaa, baru kali ini Becky melihat kecerobohan ini pada Suaminya yang dewasa ituuu.

Belum itu saja, dikira lantai dibersihkan dan bajunya yang kotor beserta bantal yang tengah dicuci bakal selesai masalah. Tapi nyatanya.

“Sayang!” Freen berlari panik hampiri Becky. Dengan sebotol entah berisi apa di tangan, ia pasang ekspresi kaget dan khawatir.

Hingga Becky yang baru saja duduk lima menit melihat Laptop, mesti beranjak untuk ladeni.

“Kenapa?”

“Aku malah numpahin pemutih ke bantalmu, bukannya sabun.” Itulah maksud botol yang tengah ditentengnya saat ini. Pemutih Mantap, manjur dan cepat memutihkan—begitu tulisan di permukaan botolnya.

“Astaga, Kak!” harusnya Becky saja tadi yang cuci!

Tapi dia bilang bakal tanggung jawab, jadi ia biarkan wanita itu untuk mengurus. Tapi malah jadi begini.

Ya begitulah pemirsa, saat ia menarik bantal dari mesin cuci yang masih mati. Empuk kain permukaan itu memang saat ini memutih. Memudarkan warna orisinilnya yang biru muda.

“Ya Tuhan.” Ini sih, Becky mesti relakan.

“Kakak ganti beli yang baru, ya?”

Becky menghela napas dengan mata dipejam. “Yes, please.”

Okay!”

Meskipun kalau beli baru bakal beda dengan yang lama. Itu sudah pasti, Becky sudah menduga dan akan menerima. Tapi bukan saat dia pulang bawa bantal yang dia bilang sebagai ‘gantinya’. Tidak yang seperti ini.

Seperti barang palsu. Dengan rupa yang hampir sama tapi kualitas sedikit berbeda, terlebih saat ia mengecek tag nama Merk, bukan IKEA namanya, namun...

“Kakak...” Becky menghembus napas begitu keras, sambil berpejam dan terasa tiba-tiba pening dibuatnya. Ia kemudian bilang, “Iye teh, naon?”

“Hah?” Freen kebingungan balik tanya. “Apanya? Bantal.”

“Iya, ini benar sekali bantal ya, Kakakku sayang. Tapi ini bukan IKEA.” Jadi dibalikin lagilah itu bantal pada Suaminya.

“Tapi ini IKEA sayang, Anton bantu aku bel—“ lidahnya berhenti ditengah kalimat, saat Freen menyadari nama merk yang tertera disana. Memang bukan IKEA, tapi malah bertuliskan IKIAE. Persis seperti bahasa sunda.


“Anton!!!” padahal sudah dikasih imbalan buat nitip sekalian beli bantal saat lelaki itu bilang mau pergi beli Vas Bunga di IKEA

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


“Anton!!!” padahal sudah dikasih imbalan buat nitip sekalian beli bantal saat lelaki itu bilang mau pergi beli Vas Bunga di IKEA. Ternyata bukan IKEA yang asli namun toko lokal!

Mata burem Anton beli di IKEA katanya:


Kiranya Becky masalah kemarin tidak bakal terulang kembali

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


Kiranya Becky masalah kemarin tidak bakal terulang kembali. Iya sih, memang tidak sama persis, tapi kemudian kalau dipikir. Sebelas dua belas dengan menumpahkan cairan pemutih ke bantalnya yang berwarna biru itu.

“Sudah cantik.” Freen jalan memutari dapur. Sejak tadi wanita tua itu mengelilingi area ruang TV—yang sedang nyala, sampai ke dapur dimana Istrinya berada. Tengah memoles muka dengan serum apa itu? Serum wajah yang hampir memenuhi kulkasnya.

“Aku tidak sedang mempercantik, ini cuman lagi menyehatkan kulit wajahku.” Becky berkaca pada pintu lemari dapur yang tampilkan wajahnya tengah dielus—meratakan serum dengan kedua tangan. Tak pedulikan Suaminya yang sedang kurang kerjaan itu.

Padahal dia biasanya suka menyendiri, tapi memang semenjak mereka tidur bersama. Dia jadi sangat lengket seperti perangko dengannya.

“Kamu masih muda, apakah tidak apa pakai serum dan perawatan wajah segitu banyak?” Freen mengerutkan wajah menatap punggung Istri—yang masih menitikkan serum dengan pipet, lalu memijat wajahnya di depan kaca.

“Justru karena aku masih muda, jadi perawatannya bakal bikin kulitku tahan lama seperti ini. Memangnya Kakak, yang sudah tua dan mulai muncul keriput itu.” Becky balikkan badan, untuk melirik dengan wajah meledek lalu saksikan bagaimana orang paling dewasa di rumah ini bereaksi.

Freen melotot, hampir menggebrak meja dapur di hadapannya. “Hei! Aku tidak keriput!” jelas ia tidak terima.

Saking tidak terimanya, ia pastikan diri, dengan mendekat ke arah cermin dimana sejak tadi Becky berkaca. Untuk mengecek seluruh wajahnya apakah perkataan Istrinya yang agak kurang ajar ini betul atau asal bicara.

“Lihat, kan?! Aku tidak keriput!” Freen menangkup seluruh wajah Becky untuk di dekatkan dengan wajahnya yang tengah melotot meminta pengakuan.

Tapi gadis itu justru menahan tawa, yang buat Freen tahu kalau dia cuman berusaha mengerjainya.

“Terima kasih ya, aku akan minum air putih lebih banyak, dan juga buah.” Wanita itu mengabaikan Becky yang kini menggelak tawa, penuhi ruang sunyi rumah dengan suara renyahnya. Sementara dirinya mulai melangkah dekati kulkas, untuk makan—mungkin buah atau sayur mentah biar kulitnya sehat.

Tapi biar juga ia buka—karena tenaga sedikit kesalnya. Ia justru menggetarkan seluruh barang yang ditaruh di pinggiran pintunya. Lalu—

Prak!

Ah!

“Kakak!”

Teriakan Bapak sampe kedengaran kecamatan sebelah

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Teriakan Bapak sampe kedengaran kecamatan sebelah.

ConnectedWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu