That Kind of thirsty

735 152 23
                                    

Hahah😂😂😂

Hellooo guyss😂😂

Sawadi khab. Maap khab. Aku ngilang lagi😂😂 sebenarnya ini ditulis dari lama tapi males ngedit sumpah, aku gak mood banget sampe sekarang.

Tapi karna gabut. Aku update aja deh ya.

Happy reading, sabarin hati sama aing😂😂

Happy reading, sabarin hati sama aing😂😂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



“Beck?”

Tok ... Tok ...

Untuk ketukan pintu kesekian kali. Freen mencoba membujuk gadis itu keluar dari sarangnya.

Setelah selesaikan cuci piring sendiri. Ia segera hampiri kamar Becky dengan jantan. Mengetuknya pelan, lama-lama makin keras karena yang empunya tak mau juga bukakan.

“Becky? Kamu mau tidur sendiri?” jadi ia akhirnya bertanya demikian. “Bantalmu ada di kamarku, tidak mau keluar dan ambil?”

Ini adalah trik.

“Kamu tidak mau ambil bantal—“
Kalimatnya tidak selesai ketika Becky akhirnya keluar kamar. Trik mudah untuk memancingnya keluar; tanya saja yang dia butuhkan saat ini.

“Aku cuman ambil, ya.” Ini pernyataan. Itu sebabnya ia langsung meluncur melewati si-lebih-tinggi Freen untuk menuju kamarnya. Ambil bantal, tapi—
Klak!

“Kakak!!!” Becky sudah berdiri memeluk bantalnya dengan erat. Tapi si dia malah mengunci pintu, yang buat teriakan itu membahana sampai keluar ruangan.

“Jadi kamu mau pisah ranjang lagi?” Freen bersidekap tangan, jalan mendekat dengan wajah datar. Seolah mengintimidasi, gadis itu cuman cemberut tanpa ingin memandangi Suami.

“I-iya.” Tidak serius. Becky cuman asal bicara. Habisnya, ia kepalang malu dan tak sanggup tegakkan wajah.

“Ya, sudah kalau begitu. Kakak tidur di bawah, Adek yang tidur di kasur. Begitu saja, kamu tidak perlu pindah kamar.” Kata akhirnya berhasil buat Becky langsung tegakkan leher, menatap mata tak percaya.

Hingga mulut kecil itu bicara, apalagi ketika saksikan Freen langsung ambil bantal miliknya di atas tempat tidur. Meyakinkan bagaimana wanita itu akan melakukan apa yang telah dikatakan.

“E-eh, Kak. Bukan begitu konsepnya.” Ia segera gelagapan melarang, entah serius atau bercanda. Tapi dari muka datar ala Kayunya itu. Becky takut dia betulan tidur di lantai yang dingin ini.

“Lalu?” Freen masih menggondol dua bantal dalam dada, mencoba melawan apa yang akan Istri mungilnya itu katakan. Hayok, mau bicara apa lagi? Ia akan perjuangkan dia untuk tidak pisah kamar darinya.

“Y-ya—“ Becky ingin mencubit bibirnya yang bergetar gugup. Ia bahkan tak kuasa pandang mata Suaminya yang tampak tampan dalam setelan baju tidurnya. “—Adek pokoknya mau tidur di kamar Adek sendiri.”

Freen menghela napas. Mungkin caranya membujuk kurang akurat. Jadi akan coba cara lain biar dia kalah dalam keraguannya sendiri. “Oke. Kalau begitu Adek tidur disana saja terus selamanya. Nanti Kakak juga bakal tidur disini tanpa menganggu Adek lagi.”

Ia geserkan tubuh, untuk membuka pintu setengah dibuka, saksikan ekspresi gadisnya yang tampak kaget—mungkin telah menyesal akan keinginannya.

“Kakak bolehin aku pergi?” Becky cemberut, mata dan alis turun ke bawah. Ia tidak percaya Suaminya gampang sekali melepasnya begitu saja. Oh iya, lagian dia biasanya memang bersikap dingin, kok. Ya sudah!

Becky jadi kesal sendiri. Ia tak ingin merasa sedih melainkah ambil langkah untuk keluar, tapi tangannya dijagal seolah tengah dibegal. Lalu manusia itu menutup pintu—lebih pada membanting. Kemudian mengunci hingga melempar itu alat buka-tutupnya entah melayang kemana.

“Ayo, tidur. Aku pengin peluk kamu.” Freen tidak ingin dibantah. Ia rindu sekali jadi tolong dramanya ditunda saja. Itu kenapa ia terlihat memaksa. Bahkan menggotong tubuh Istrinya seolah ringan dalam genggaman.

“Kakak!” Becky kaget, langsung berpegang pada bahu dan lehernya. Takut dilempar ke atas kasur sana. Bahkan bantal yang ia pegang erat tadi jatuh ke lantai tak terselamatkan. Lalu bagaimana nasibnya kini?

Ya cuman direbahkan saja.

Tidak, Becky tidak dilempar seperti seonggok daging mentah siap dilahap. Tapi selayaknya bayi baru lahir yang ditidurkan dengan pelan, tapi si pelaku malah bergaya berbalikan dengan minta dipeluk kepalanya diantara lengan dan dada.

“Kakak?” Itu kenapa saat ini, Becky menahan napas. Sungguh sesak degup jantungnya saat ini. Entah harus terus menahan oksigen untuk tidak masuk ataukah pilih untuk menghirup seluruh wangi rambut dan pakaian Freen yang aromanya menguar dengan jarak selengket ini.

“Apakah berat?” Freen mendongak sedikit—benarkan kepalanya untuk tidak menindih lengan, lalu melihat ekspresi kaku sang Istri yang tampak ingin menghindari apapun itu dengan pelukannya.

“Bukan berat.” Becky menutup mata untuk detik lanjut buat bernapas kemudian. Biarkan aroma khas Suaminya menguar ke seluruh rongga penciuman. Yang sebetulnya, membuat sungguh hati kecilnya ingin menjerit—takut kalau sedikit saja jauh dari ini orang, ia bakalan sangat rindu karena baunya telah begitu dikenal.

“Tapi?” Menarik satu alis, Freen masih mendongak menatap wajah Becky yang kini kelihatan gelisah sendiri.

“Cuman ... Tidak biasa.” Perasaan ini, pelukan manja ini, pendekatan ini, dan segala perubahan dari Kakak-Adik di minggu lalu yang saat ini telah berubah menjadi Suami-Istri betulan. Membuat hatinya masih gugup, berdebar jika mengingat adegan semalam. Dan jadi berpikiran lain kalau Freen memeluk dengan mesra begini.

Astaga. Kalau ternyata bercinta dengan orang yang dicinta bisa membuat hidup lama, Becky mungkin bakalan berumur panjang dan tak takut mati lagi.

Freen tersenyum. Merekat tangan yang melingkar pada perut, makin dekat, tanpa sekat ia menciumi aroma baju, sekaligus aroma tubuh Istrinya yang sejak kemarin—sangatlah memabukkan. Itu kenapa ia ingin memeluk seperti ini. Biar dahaganya diberi kelonggaran, dan hatinya merasa tenang.

“Aku mencintaimu.” Kalimatnya meluncur begitu saja. Dengan senyum dan mata tertutup, Freen menghirup lagi aroma bunga dari pakaian, buah dari sabun di kulitnya, dan aroma manis pada lehernya yang dekat dengan wajah.

Kalau aroma ini berbentuk minuman, Freen ingin menyeruput habis tanpa sisa. Biar wanginya masuk ke seluruh raga, sebab ... ia ingin punya aroma yang sama.

“Aku ...” Becky menggigit bibir, meremas sedikit lengan baju Freen saat bibir yang lebih tua malah menyusup masuk ke perpotongan lehernya. Menghirup, tapi kemudian beri kecupan disana. “Juga mencintaimu.”

Ya Tuhan, Becky tidak kuat. Ia ingin mendesah tapi bibirnya ia tutup rapat, tangan makin mencengkeram saat ia tahu. Lidah si dia keluar untuk menjilat, lalu mulutnya seolah menyatu dengan kulit saat menghisap, menyesap, untuk kemudian turun ke bawah mencari mungkin yang disebut dengan ‘kesukaannya’.

“Hah, Kakak.” Becky tidak kuatkan batin saat ia akhirnya mendesah berat, tapi jemari menjambak rambut Freen saat tangan wanita itu meremas dari balik bra miliknya, sementara yang satu sudah dalam mulut si dia.

“Maaf.” Freen melepas mulut dari ujung dada yang baru saja dilahapnya. Ia padahal baru saja ingin menindih seluruh tubuh saat dahaganya bukan berkurang malah makin haus terasa ditenggorokan.

Merasakan cengkeraman di rambut, dan betapa tegang tubuh Istrinya saat ini. Ia mungkin harus memberitahu.

“Maaf.” Freen naikkan tubuh, menghirup seluruh aroma memabukkan Becky yang buatnya kepayang mampus. Tapi kesadaran dari sedikit pikiran harus kuat untuk mampu menatap bibir mungil, hidung mancung, dan tentu saja mata indah kecoklatan milik Istrinya. Yang kini pancarkan tatapan sayu, dibumbui dengan merah merona di pipi. Indah sekali, betapa menakjubkan pemandangan ini.

“Aku ...” Freen memejam mata, tempelkan hidungnya dengan miliknya. Menyatukan dalam satu napas yang kini terasa panas. Ia menahan tangan untuk tidak merobek—apa ini baju tidur, yang kelihatan seperti daster motif bunga dipakai sang Istri saat ini. Ingin sekali ia membuang kain terbalut, demi bisa lanjutkan kata betapa ia bergairah dibuatnya.

“Aku sangat menginginkanmu.” Freen berbisik, mematahkan setiap napas yang ia ambil sebab, sebab hatinya bergejolak setiap kali napas Perempuannya bergerak menerpa wajah. “Saking menginginkannya. Aku mungkin bisa mati jika tidak mendapatkan cintamu.”

Sungguh serius ia katakan, Freen terasa mau mati karena rasa haus ini terasa menyakiti. Tapi warasnya harus menaati sebuah aturan untuk tidak melukai orang yang dicintai, itu kenapa ia mengungkap kata. Barangkali gerangan mengerti akan betapa dirinya menginginkan cinta.

“Love me ... Then.” Becky menyusuri lengannya hingga naik ke tengkuk, untuk menegakkan kepalanya yang tertunduk. Ia ambil napas dengan percaya diri, memberanikan hati bahwa ia siap berenang dalam lautan cinta.

ConnectedWhere stories live. Discover now