I Love You

2.9K 326 113
                                    

Dingin banget seriusan malam ini sampe gak jadi keluar😭😭😭😭
Makanya aku update aja😢😢

Spoiler ahead, the next chapter will be YOU KNOW WHAT.
So, of course I expect more vote for this story.

JADI! SIAPA YANG MASIH JADI SILENT READER YANG BACA CERITANYA TAPI NGGAK NGEVOTE??!! SIAPA BILANG JUJUR!

sabar len, sabarrr ngossshhhhhh😤😤😤😤😤

Anyway,😒😒 happy reading ya😒😒😒 *muka galak

Anyway,😒😒 happy reading ya😒😒😒 *muka galak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bukan cuman hari ini, hari besok, atau bahkan setelah Becky keluar dari rumah sakit. Bayi bau susunya yang biasa penuh senyum dan ceria. Kini jadi sangat pendiam tanpa sedikitpun dia bicara.

Freen sampai tidak bisa mendapatkan kesempatan apapun untuk berkata kalau setiap kali ingin buka mulut, Becky sudah balik badan duluan, ataupun mata perpendar ke arah lain demi menghindari usahanya yang ingin bicara.

Jujur saja, ia tidak pernah merasa sakit pikiran seperti sekarang ini. Freen tidak pernah dibikin begini; gelisah, bersalah, dan menyesal tanpa ada jeda.

Ia bahkan tidak bisa tidur. Tidak fokus bekerja, ataupun berselera makan. Ini sangat tidak wajar dan ingin sekali hancurkan segala kediaman yang diberikan Becky padanya.

Bahkan ketika hari cerah, dan situasi kembali biasa. Freen kira Becky bakalan balik seperti sebelumnya. Namun sepulangnya dia dari rumah sakit hingga dua hari di rumah. Dia masih diam dan mengurung mulutnya untuk tak boleh mengungkap kata dan lebih memilih terpenjara dalam kamarnya.

Setiap kali bangun tidur. Freen harus mencari cara agar Becky kembali pada kebiasaannya. Termasuk saat ia mengantar Istri mudanya itu datang ke kampus untuk diantar.

Betapa senang dan berharap. Ia jalankan motor dengan pelan meski dalam keheningan sepanjang perjalanan.

Ketika keduanya sampai. Freen siap-siap tampilkan senyum saat melihatnya terlepas dari jok motor untuk berikan helm yang dipakai padanya.

Dengan harap-harap cemas, ia menunggu pelukan itu. Pelukan selamat bertemu kembali sebelum pergi. Tapi yang ada ia cuman melihat gadis itu segera berbalik, melangkah tenang seolah tak ada yang terlupa soal sebuah kebiasaan.

Meninggalkan ia menatap penuh kesedihan, dengan mulut bergumam pelan. "Maafkan, aku."

Dia masih marah. Jelas.

~~*~~

Freen berdiri dari duduknya di meja makan. Setelah makan malam tanpa suara. Ia yakinkan diri kalau hari ini, mesti hancurkan segala kediaman yang telah menguap diantara mereka.

Itu kenapa ia melangkah mendekat pada gadisnya yang telah berdiri di depan wastafel, tengah mencuci piring habis makan mereka.

"Becky?" mulutnya bergetar gugup, takut panggilannya bakal diabaikan seperti pagi tadi.

Becky yang memunggungi sambil mencuci piring. Masih diam, tapi kemudian suara kecil terdengar sebagai sebuah respon. "Hehm?"

Untuk sejenak, Freen bernapas lega. Becky mau merespon. Jadi ia akan lanjutkan kalimat yang selama ini terpendam sampai hampir lumutan. "A-aku ... Merindukanmu." Seperti orang lahiran. Ia akhirnya bisa keluarkan apa yang telah tertahan dalam kesakitan.

Yang membuat Becky langsung hentikan gerakan tangan, sempat terpaku memandangi piring yang tengah dicucinya demi mencerna, apakah ia tidak salah dengar?

"Ehm." Untuk kemudian merespon dengan suara yang sama. Lanjutkan gerakan tangan, mencuci lebih cepat. Ia ingin lari dari lokasi karena hatinya tiba-tiba ingin terloncat dari asalnya.

Saking buru-burunya ia mencuci, sebuah gelas yang dipegang terlepas dari genggaman, jatuh menimpa piring lain hingga pecah, lalu serpihannya berhasil melukai jarinya.

"Auch." Becky reflek kesakitan, ia buru-buru mencuci tangannya yang berdarah sementara Freen datang dengan muka panik meraih tangannya yang terluka.

"Kamu tak apa?" Freen melihat sayatan yang masih berdarah. Begitu cekatan, ia segera menutup dengan sebuah tisu dapur hanya untuk sejenak hentikan pendarahan sementara tangannya mengambil kotak obat yang ia ambil dari laci di atas kepala, kemudian keluarkan plester luka untuk membalut sayatannya.

"Aku tak apa." Becky langsung menarik tangannya yang terluka setelah Freen membalut dengan plester. Ia masih ingin lari karena hatinya betulan tak kuat melihat perhatian kecil Freen yang mungkin bisa membuatnya jadi berharap lebih lagi.

Tapi saat ia baru mundur selangkah, Freen menarik kedua tangan demi bisa meraih seluruh pinggang dalam genggaman. Yang dengan lembut, tubuh mereka mendekat. Merekat begitu erat, lalu tahu-tahu kepalanya tak bisa menoleh saat bibir itu turun menyentuh mulutnya yang kaku.

I-ini ... Ciuman.

Ciuman apa? Becky tidak tahu. Ia lelah menebak-nebak tingkah Freen dan ciuman randomnya. Tapi hati gemuruh itu begitu keras hingga ia mesti segera melepas. Matanya membesar dengan panik saat wajah Freen sedekat ini dengan dirinya. Terkurung dalam sebuah pelukan dipinggang. Kegugupan itu datang dengan sebuah napas kasar dan jeda tatapan penuh pertanyaan.

Kenapa dia tiba-tiba menciumnya?

"Kakak ..." Becky tidak tahu harus bilang apa. Pikirannya dikacaukan dan ia tidak fokus oleh banyak hal, antara perbuatan Freen yang tiba-tiba, serta posisi mereka yang sangat rentan membuatnya lemah.
Tapi wanita itu malah membuat simpul senyum tipis, mendengar Becky kembali memanggilnya dengan Kakak. Hatinya merasa lega. Sesak di dada berhari-hari itu kini meluntur, tergantikan dengan degupan jantung penuh harapan.

"Aku-" Freen menggantung kata dengan ketakutan di atas kepala. Menatap mata indah gadis mungilnya yang memesona. Ia menarik sedikit napas untuk kembali bilang, "aku mencintaimu." Bibirnya bergetar dengan kegugupan yang sangat besar. Napasnya kasar, dan ia menautkan pandangan penuh kegelisahan. Takut kalau Becky, tidak punya perasaan yang sama lagi.

"Maafkan aku, telah membuatmu lama menunggu untuk bisa katakan bagaimana perasaanku. Maafkan aku, untuk segala sesuatu yang membuatmu terluka, untuk semua sakit yang aku perbuat padamu. Aku sungguh sangat menyesal. Aku janji ... Aku janji bakal jadi orang yang lebih baik lagi, lagi dan lagi." Begitu menyesalnya, sampai ketika diakhir kalimat ini, matanya berair dan bayangan Becky yang sakit hingga kejang membuat memori ketakutan yang luar biasa. Ia tidak ingin, kehilangan gadisnya. Dan alangkah besar sebuah sesal yang ia ambil dalam menjauhinya hanya demi sebuah ketakutan yang belum terjadi.

"I love you, Becky. I love you so much that I might sell my soul to God if something happen to you." Akhirnya air mata itu jatuh ke pipi, kerapuhan itu terpampang begitu nyata. Penuh dengan keputusasaan dan cinta yang tak lagi ingin dipendam lama.

"Kakak." Becky terenyuh dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa ia juga terasa ingin ikut menangis bersamanya. Namun daripada mengeluarkan air mata, ia lebih pilih tersenyum lembut sambil mengusap basah di pipi itu.

"Do you-" Freen mengharapkan sebuah perasaan yang sama, jadi ia ingin tanya apakah Becky juga punya cinta yang serasa dengannya? "-still love me?"

"I love you, Kak." Becky menangkup pipi Freen. Menautkan tatapan. "Always."

ConnectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang