Thank You, I Love You

795 167 54
                                    

Malem guysss...

Just short update karna pengen aja😂😂

Gak tau dah kapan nulis ini, karna emang aslinya aku udah gak nulis dari 2 bulan deh😭😭
Jadi tadi pas ngedit ini tuh, kayak. Hah? Gue bisa nulis kayak gini juga, ya?😂😂

Ya ampon, guys, kalo romansa gue abis di crita ini begimana ya😭😭 soalnya perasaan cerita ini terlalu romansa banget 😭 takut nanti gak bisa jadi romantis lagi gue😭😭

Anyway, happy reading😉😉





Becky pikir Freen bakal kasih puisi indah buat gambarkan segala perasaannya. Tapi habis enak-enakan—padahal ia masih pengin pelukan.

Wanita itu tua malah berdiri, pakai celana-baju asal, lalu kasihkan gaun tidurnya yang tadi dia lempar untuk dipakai kembali.

“Kakak, mau kemana?” sebab saat ia—meskipun dengan muka bingung sambil pakai baju—ditunggu oleh si dia yang tengah berdiri di dekat pintu.

Dan ‘mau kemana’ pertanyaannya dijawab dengan pegangan tangan, membawanya melangkah turun ke bawah. Lalu masuk ke dalam studio pribadinya yang selama ini begitu private. Iya, pemirsa. Sangat private, Becky bahkan tak tahu bagaimana untuk masuk karena selama ini Freen selalu menguncinya.

Kali pertama ia dibolehkan masuk begini. Itu mengapa saat mengetahui isinya secara dekat. Mulutnya menganga begitu lebar.

Tahu, Becky sudah tahu kalau Freen ahli melukis. Dia bahkan pernah punya pameran—dilihat dari foto album yang ditaruh di laci kamarnya. Tapi sungguh, ia tidak sangka kalau isinya bakal seperti ini.

Is this ...” Becky mendekat pada satu lukisan, meraba jemarinya lembut di atas kanvas bercoret indah. “Me?”

Yes.” Freen mengangguk. Lalu tunjukkan tumpukan lukisan di belakangnya, di dekat pintu kamar kecil studio cetak foto. Ia keluarkan satu demi satu untuk ditunjukkan. Akan betapa, Becky adalah Karya Indah. Yang bahkan warna, tak bisa jelaskan betapa dia begitu langka.

Since ... When?” Becky juga tahu, si Dia ini selalu ngurung kesini dibanding habiskan waktu di lantai dua yang ada dirinya. Jadi, selama ini Freen melukis wajahnya tapi tak mau habiskan waktu dengan orang aslinya?

“A-aku...” Freen seketika menunduk, lalu tangan tiba-tiba garuk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Merasa sedikit malu. Tapi kemudian tampilkan sedikit senyum untuk buat keberanian.

“Aku tadinya takut.” Bukan ini, bukan ini yang awalnya Freen ingin katakan. Tapi ia ingin memulai cerita dari sangat awal. Biar dia paham, biar dia tahu.

“Kok, takut sih?” Becky menarik satu alis. Kebingungan, sambil menatap seluruh raut wajah Freen yang menatap balik padanya.

“Aku harap kamu tidak tersinggung dengan apapun perkataanku, aku ingin kamu mendengar dulu. Oke?” melihat banyak tingkah Becky yang tidak mau kalah dalam berdebat. Ia tidak ingin kalimatnya membuat salah paham dan berakhir bertengkar.

Yang buat Becky mengangguk, meskipun perasaan jadi khawatir kenapa gerangan malah seolah mengancam. Mengancam kalau dirinya tidak boleh marah atau dia tidak mau lagi bicara.

“Melihat dari umurmu. Aku sebetulnya khawatir pernikahan ini terasa salah.” Freen berhenti dulu, menatap ekspresi Becky yang kini kerutkan dua alis—tampak fokus. “Aku sangat berhati-hati dalam melakukan sesuatu, apalagi soal perasaan. Sejujurnya. Kalau ditanya sejak kapan, aku akan bilang sejak awal.”

Lalu baru ada senyum manis di bibirnya. Untuk kemudian cubitan tangan kecil ke lengan Freen dengan pipi merona malu dari gadis itu. “Terus?”

Jelas Becky jadi ingin lanjut mendengar.

“Memang siapa yang tidak terkesan melihatmu?” Iya, kan? Siapa yang tidak terkesan melihat seorang Becky?

“Lanjut.” Becky selipkan rambut ke kuping, sedikit menunduk kepala dengan tingkah malu-malu anak kucing. Yang buat lawan bicaranya jadi ikutan senyum melihat.

“Kamu cantik—“

“Aha.” Becky mengangguk setuju.

“Kamu imut—“

“Betul.”

“Kamu lucu—“

“Jelas.” Ia kibaskan rambut panjangnya menyiprat pada wajah Freen—yang kini tebar senyum hampir ketawa. Dia tetap lanjut bicara.

“Kamu manis—“

“Lanjut sayangku.” Kini merangkul lengan Freen sambil kasih tatapan lucu.

Freen ingin sekali tertawa. Tapi ia ingin konsisten untuk tetap lanjutkan bicara. “Kamu juga cerewet—“

“Loh.” Becky melepas pelukan, sontak menatap galak—atau mencoba bertingkah demikian meskipun gagal melakukan.

“Kamu sangat ceroboh, kamu cengeng, kamu belum belajar sama banyak hal.” Freen rapatkan mulut melihat ekspresi ketat Becky yang saat ini jadi cemberut. Ingin tertawa, tapi muka takut ditimpuk olehnya.

“Semua itu, memang tidak jadi pesona?”
Awww. Kini Becky lengserkan wajah kakunya. Kembali tebar wajah menggemaskan hingga yang tua tidak kuat, tiba-tiba mendekat muka dan mengecup bibirnya dengan senyum yang sama.

“Seperti aku menciummu sekarang. Tadinya sudah aku tahan sejak awal bicara, tapi akhirnya. Aku tidak kuat untuk melakukan. Ku pikir, sejak melihatmu sakit hingga kejang di depan mataku. Sangat menyadari betapa aku, ternyata takut kamu kenapa-napa. Dan tidak mau bayangkan ke depannya.” Untuk sejenak, Freen menatap wajah Istri mungil dengan penuh kekaguman. Menyeka udara di permukaan pipinya sambil berpikir, membayang ke belakang perasaan saat itu.

“Aku tahu aku cuman menolak apa yang aku rasakan selama ini. Itu kenapa aku berusaha menghindarimu. Takut aku makin berharap, khawatir kalau aku tidak bisa menahan diri. Aku akan merusak prinsipku ... Untuk tidak jatuh cinta.”

Nada akhir kalimatnya jadi sendu. Dengan wajah menunduk layu, Becky memegang rahangnya untuk diangkat menghadapi matanya. “Kenapa?”

Apa yang salah dengan jatuh cinta? Apalagi mereka sudah menikah, sangatlah mudah, sangatlah beruntung kalau mereka saling punya rasa yang sama. Tapi kenapa dia bilang begitu?

“Becky, remember.” Bukan cuman topiknya jadi berubah, suasana yang tadinya manis pun, kini sirna. Tergantikan oleh wajah serius sekaligus mellow yang lebih tua. “I was a broken person before I met you.

“Kakak, jangan bilang begitu—“

“Terlalu banyak pertimbangan.” Freen memotong. Ada mata berair disana. Menatap penuh bayang luka yang tidak kentara. “Terlalu banyak konflik batin sebelum aku memutuskan untuk menerima perasaanku, kalau aku tidak mau sembunyikan menyukaimu. Saat aku tahu ... Kalau menciummu bukanlah kesalahan. Saat aku menyadari, kalau perubahan hidupku dengan adanya kamu, jadi terasa kewalahan. Aku merasa rindu, aku merasa ingin dekat denganmu, aku merasa ingin menyentuhmu. Segalanya menggegoroti dan aku tidak tahan—“

Becky memeluk. Memeluk dengan mata terpejam agar dia diam. Agar ia bisa merasakan detak jantungnya yang kencang, kini tenang.

“Terima kasih. Sudah menerima kita.” Ia hirup kaos tipis Suaminya dengan peluk yang makin erat. Dibalas sama dekat.

“Seharusnya aku yang berterima kasih, terima kasih.” Freen mencium ujung rambut kepalanya. Sambil membisik, “Telah mau menerimaku yang seperti ini.”

ConnectedWhere stories live. Discover now