Thinking of You

1.4K 281 41
                                    

Sore guysss😁😁😁

Ini aku mau minta maaf sekaligus ngasih info:

Maap ye maap, gue udah bikin enceh crita ini duluan dibanding You Belong With Me yang macetnya ampe sekarang😂😂😂😂

Anyway, happy reading, love you all🥰🥰

Bapak kalo lagi kerja, tamvan yaa😘😘



Suaminya bilang, jangan menerima tamu sembarangan.

Jadi saat ada bell pintu rumah di gerbang sana bunyi, Becky malah sembunyi seperti bayi tengah ditakuti, dan hanya bisa mengintip dari balik gorden jendela rumah untuk melihat siapa gerangan di luar sana yang mau bertamu padahal selama ini Freen kelihatan tidak punya sosialisasi terhadap manusia lain kecuali dunia kerjanya.

Ting tung ...

Bell itu bunyi lagi, tapi kali ini dengan suara interkom yang sempat kagetkan Becky hingga gadis kecil itu hampir terloncat dari tempatnya.

“Freen, kau tak apa? Ini Dokter Ayu yang datang.”

Dokter? Becky mengerut muka. Dia Dokter betulan apa gadungan? Freen kayaknya tidak pernah punya Dokter pribadi. Atau memang dirinya saja yang tak banyak tahu soal suami yang baru dinikahinya tiga minggu lalu itu.

“Mobil dan motormu ada di rumah. Kalau kau ternyata ada di dalam, bisakah saya bertamu sebentar?”

Orang itu jelaskan lagi, seolah kehadirannya memang penting. Jadi Becky memilih keluar rumah, menuruni tangga yang letaknya di luar, lalu hampiri pintu gerbang dengan hati masih waspada. Takut penipu.

Oh, hello there.” Sang Dokter paruh baya itu menyapa dengan senyum, tak lupa melambai kecil pada Becky yang masih belum berani buka pintu gerbangnya.

“Boleh tahu ada urusan apa, ya?” Becky tidak tahu harus bertanya bagaimana selain demikian.

“Kenalkan, saya Dokter Ayu, psikiater yang menangani Freen selama setahun ini.”
Yang menangani Freen, si suami jarang bicaranya itu?

Maksudnya bagaimana Freen ditangani? Dia binatang liar atau bagaimana?

Tapi dia bilang psikiater. Ah, ia ingat kalau Freen sempat depresi sampai ingin mati.

Tapi, apakah ia boleh menerima tamu begitu saja? Jujur, Becky bingung, ia hanyalah anak baru gede yang tidak pernah basa-basi dengan seorang tamu. Jadi ini bagaimana?

Becky pusing sampai geleng-geleng kepala apakah ia harus menerima tamu atau tidak. Jadi ia putuskan untuk telepon suaminya saja, takut si dia marah kalau menerima sembarang orang masuk. Orang dirinya saja tidak boleh masuk ruang kerja Freen kalau dia lagi kerja, apalagi biarkan orang asing masuk ke dalam huniannya yang sangat berharga ini.

“Kakak.” Becky menghela napas lega, takut kalau Freen sibuk dan tak buka ponsel hingga bisa lewatkan teleponnya. Beruntunglah ternyata dia langsung jawab. “Adek mau tanya, ini ada tamu. Namanya Dokter Ayu, apakah beliau boleh masuk?” ia sampai harus balik badan sambil pelankan suara saat bertanya. Takut kalau yang di luar sana mendengar dan kelihatan tidak sopan.

“Dia Dokterku, kamu boleh menerimanya. Palingan dia akan bertanya-tanya sedikit.”

“Begitu, ya?”

Sudah dapatkan izin dari Suami. Becky akhirnya buka pintu gerbang dengan balasan senyum yang sama, mengantarnya masuk ke dalam rumah sambil menyambutnya untuk duduk di ruang tamu sementara ia ke dapur untuk buat minum.

Minum apa, ya? Kok, aku tidak tanya? Becky menepuk jidatnya sendiri. Lupa, maklum, ia tidak pernah menerima tamu kecuali tamu bulanan.

Karena bingung—lagi, Becky hanya bisa seduhkan teh hangat tawar saja, biasanya orang tua tidak pakai gula, iya kan?

“Terimakasih, ya.” Sang Dokter menerima gelas beserta tatakannya dengan senyum. Perhatikan si gadis manis yang memilih duduk di hadapannya.

“Jadi, ini yang dimaksud Freen dengan punya kucing di rumah?”

“Hah?” Becky sampai kaget mendengar. Siapa yang punya kucing? Tidak ada kucing di rumah. Kepalanya bahkan reflek mengitar seluruh ruangan apakah ada kucing disini.

Sang Dokter hanya cekikikan sejenak. Freen mungkin tidak berani bilang bahwa sebenarnya dia sudah punya seorang perempuan di rumah bukan malah seekor kucing untuk dipelihara.

“Semenjak Ibu datang untuk selamatkannya dari percobaan bunuh diri, Freen tidak hubungi Ibu lagi. Saat Ibu tanya pun, dia hanya jawab kalau sudah sehat dan punya kucing di rumah, jadi ia sudah tidak kesepian lagi katanya.” Begitu sih, kira-kira yang Freen bilang padanya. Tapi ternyata kucing yang dimaksud adalah gadis muda manis, yang tidak sangka, bahwa Freen punya selera yang sangat bagus.

“Be-begitu, ya? Tapi—“ tapi disini tidak ada kucing!

“Tapi disini tidak ada kucing.” Sang Dokter lanjutkan ucapan dari mulutnya yang tampak masih berpikir. “Karena kamu kucingnya.” Freen bercerita, kalau kucing kecil itu nakal dan merepotkan. Kucingnya juga suka minum susu seperti bayi binatang baru lahir. Seolah si dia itu memang punya kucing. Omongannya begitu meyakinkan.

“Ah?” Becky sampai dibuat mingkem. Jadi maksudnya Freen selama ini mengaku dengan Dokternya, kalau dia punya peliharaan kucing bukan seorang Istri?

Kok, Becky jadi sedih, ya? Ia sampai otomatis menunduk pandangan sambil sedikit turunkan bibir. Freen memang tidak pernah mengakui keberadaannya. Dia terlalu cuek dan lebih sering marah-marah. Tapi demi bisa menjaga dia untuk tidak melakukan bunuh diri lagi, ia hanya akan fokus pada sisi bagusnya saja—kalau Becky bakal tetap hidup, kalau Freen hidup.

“Kamu jangan berpikir jika itu sesuatu yang buruk, padahal justru sebaliknya, meskipun maksudnya tidak langsung.” Sang Dokter sangat paham bagaimana perubahan ekspresi Becky yang tadinya penuh senyum dan ceria, kini tiba-tiba jadi diam dan malah asik menatap lantai. “Butuh sebuah proses untuk seseorang yang biasanya hidup sendirian seumur hidupnya, menerima orang lain ke dalam rumah yang dia buat selalu terkunci. Melihat perubahan Freen akhir-akhir ini, kau mungkin telah membuat hal bagus dalam hidupnya. Freen bahkan menutup pertemuan kita dan berhenti meminta resep.” Dia bahkan bilang kalau kucingnya terlalu membuat sibuk sampai tidak perlu merasa sendirian lagi.

“Dan setelah melihat kamu, Ibu paham kenapa dia kini punya senyum tipis itu.” Jika obat itu ternyata seorang pasangan, berarti resepnya cocok untuk Freen yang selalu habiskan hidupnya dalam kesepian.

“Benarkah?” Aduh, Becky jadi malu. Ia sampai mesem-mesem bak bocah bayi yang ditoel pipinya. Ia tidak sangka kalau pernyataan tidak langsung Freen pada Sang Dokter, adalah sebuah hal bagus.

Dokter Ayu mengangguk sambil menyeruput teh hangat dalam genggaman tangannya. Masih menatap perempuan muda penuh senyum ini. Dia ... Punya aura yang membuat orang lain juga ingin tersenyum. Sangat bagus untuk Freen.

Jika dua orang ini bicara soal bagaimana Freen. Yang diomongi malah sedang tersedak oleh sebuah tegukan kuah bakso yang membuat telinga dan hidungnya panas.

“Sial.” Freen sampai buru-buru mengambil minum dan meneguk secara bringasan sambil menepuk-nepuk telinganya yang hampir terbakar.

“Kau pasti sedang dibicarakan seseorang.” Tuding si Anton, yang menertawai Freen tapi kemudian dia juga hampir tersedak oleh makanan yang sama sebab dia bicara sambil mengunyah.

“Rasakan.” Freen menuding dengan mata tajam ke arah Anton yang selalu saja meledeknya, terutama sejak dia mengakui kalau sudah beristri.

Dia bahkan kedengaran seperti membully saat mencap dirinya yang jadi sering melamun dan berasumsi kalau Freen tengah berpikir kotor bayangkan Istri baru dinikahi yang ditinggal di rumahnya itu.

Meskipun kenyataan antara benar dan salah. Benar ia melamun soal Becky, tapi bukan melamun jorok! Freen bukan orang mesum!

Ia hanya khawatir kalau Becky sampai nyalakan kompor di siang hari panas lalu lupa matikan hingga rumahnya terbakar. Ia juga takut kalau sampai Becky ditipu oleh sales-sales yang suka keliling komplek dengan berbagai jualannya yang tidak dibutuhkan lalu gadis itu akan membeli segalanya dengan uang kedua orang tuanya yang kaya itu.

“Hei! Tuh, kan! Melamun lagi, dia.” Tepukan bahu Anton sampai berhasil buat Freen langsung menatap galak.

“Cuman dua hari, Freen. Nanti kamu bakal ketemu lagi sama Istrimu itu.” Edy tersenyum sambil menepuk bahu Freen dengan pelan. Memahami perasaan gejolak muda pengantin baru yang mudah terbakar.

Edy bahkan kaget melihat perubahan Freen yang biasanya kelihatan lebih serius kalau dapat tugas luar kota, kini malah sedikit terdistraksi dengan hal-hal aneh.

Contohnya seperti: saat seekor kucing lewat, kalau biasanya dia suka foto pemandangan. Dia malah memfoto para kucing liar sambil tersenyum-senyum saat melihat hasilnya. Pemandangan yang sedikit ngeri, jika melihat orang yang biasanya jarang senyum, malah jadi tiba-tiba  suka terkikik sendirian tanpa alasan.

“Diamlah, kalian ini kenapa?” Freen jadi tidak berselera. Mereka tak hentinya membahas hal yang sama. Itu kenapa ia putuskan berhenti makan dan kabur dari ketiga teman kerjanya untuk keluar tenda dan menghirup aroma puncak yang sangat segar.

Kalau ajak si bayi kesini, bakal suka tidak, ya?

Eh, Freen menggeleng heran. Ia mengusir pikiran soal Becky dan kenapa dia tiba-tiba mengingatnya lagi, lagi dan untuk kesekian kali sejak kemarin.

Meskipun si kepala tiga ini mencoba kabur dari bayangan si bayi, nyatanya setiap melihat sesuatu, akan selalu mengingatkannya pada sang Istri muda. Contohnya saat ia pergi menemani Edy membeli oleh-oleh untuk Istrinya, ia juga tiba-tiba membeli satu set perhiasan hanya karena berpikir akan cocok dipakai oleh si gadis mungil itu.


ConnectedOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz