You Hurt, I Hurt

1.3K 218 17
                                    

Apa?

Eh, iya aku nongol tiba-tiba😂😂

Aku mulai moodyan nih, jadi nulis dan edit kalau moodnya bagus aja.

Aku lagi catch up sama real life yang tertinggal selama bikin call it what you want juga. Jadi lagi me-time banyak2 buat diri sendiri.

Lagian, meskipun orang bilang. Kalau nulis jangan nungguuu mooddd!

Woy! Gue kalo nulis gak mood ntar ceritanya sedih! Gak enak baca! Dan boring! Kalo gue aja gak mau baca gimana yang lain!

Itulah hasil dari gak moodku kalo nulis dipaksa. Jadi mending ngikutin alur aja😂😂😂bahahah.

To much bacot. Happy reading.

Love you all my readers!🥰🥰🥰

Anyway, kalo ada yg bertanya-tanya gue cewek apa cowok (bagi yg baru mampir), jawabannya, gue cewek. Oke. No fake, real cewek ya.

Lucu banget ini anaknya saha sihhhh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lucu banget ini anaknya saha sihhhh

Dari sejak jawaban itu. Becky takkan perlu bertanya lagi. Sia-sia sebab ia tahu, mana ada orang ingat saat mimpi membawa tubuhnya bergerak.

Tapi itu belum seberapa loh, kalian tidak tahu kan kebiasaan si Tua itu kalau libur di rumah?

Yaitu, beberes.

Iya, beberapa minggu ini dia mengajari Becky cara melipat pakaian, menjemur, sampai menyetrika, cuci piring hingga masak sederhana seperti goreng ikan atau ayam.

Bagai latihan militer kalau besok bisa terjadi perang, Becky harus fokus dan pelan-pelan bisa.

Padahal setiap hari selama empat jam, datang pembantu dari rumah orang tuanya yang selalu bersihkan rumah ini.

Namun kata dia yang bilang, “pekerjaan rumah adalah ilmu nyata, kamu bisa lihat dan langsung contohkan.” Menjadi kalimat pusaka yang buat Becky mau tidak mau. Manut saja.

Tapi kali ini, si Tua itu tidak menyuruh apa-apa melainkan pergi ke belakang rumah untuk mengganti beberapa lampu yang mungkin sudah mati.

Dan sekarang? Tentu saja ia ikut nimbrung dan berakhir memegangi tangga yang dinaiki Freen untuk mengganti lampu.

“Silau!” Becky menutup mata dengan muka terdongak ke atas. Tak bisa saksikan Freen yang melepas lampu karena matahari begitu terik menyerang.

“Jangan menatap ke atas. Nanti matamu sakit.” Selesai tiga lampu. Freen masih harus ganti dua lampu lagi.

“Tidak bisa. Ini reflek.” Becky masih mendongak sementara Freen segera turun hanya untuk menjitak sedikit dahinya.

“Tundukkan kepalamu kalau panas.” Dasar bocah. Freen cuman bisa geleng kepala, berikan lampu rusak padanya, sementara tangan segera mengangkat tangga itu seolah begitu ringan dibawa.

“Masih banyak ya, Kak?” Becky mengernyitkan mata, dahinya berkerut-kerut saat sinar matahari menabrak mata. Jadi ia bersembunyi ke belakang punggung suaminya yang lebih tinggi demi mencari peneduhan.

“Tinggal dua lagi. Sabar, ya.”

“Oke.”

Oh, iya. Nilai plusnya. Kalau sama yang lebih dewasa. Dia bakal mengajarkan sabar lebih baik dari orang lain. Termasuk Freen, dia sangat sabar dan telaten setiap kali melakukan sesuatu. Mungkin itulah kenapa dia bisa mengurung diri dengan melukis selama seharian di studio lantai satunya itu.

Iya, itu termasuk sarkas.

“Masih lama ya, Kak?” Becky cemberut. Kini mulai merasa lelah. Padahal dia bilang tinggal dua lampu lagi. Tapi Freen malah keliling seluruh rumah dan mencari sesuatu yang mungkin sekiranya harus diganti.

“Mau sekalian periksa semua. Mumpung lagi ada waktu.” Freen menaruh tangga yang dibawa-bawa itu bagai sekresek sampah. Tak ada lelah dia tenteng diantara ketiaknya.

Sebab gadis cilik yang mengintili sudah mengembus napas dengan wajah cemberut. Yang artinya tengah mengeluh tanpa bicara.

“Kalau kamu lelah, duduk saja. Aku tidak menyuruhmu untuk mengikuti.” Dia sendiri yang dengan sukarela membantu tapi dia juga yang kelelahan.

“Tidak mau, Adek mau bantu.”

Freen memutar bola mata, bersamaan dengan dirinya memutar tubuh hingga tangga yang dibawa hampir menyapu seluruh meja ruang tamu. “Kamu bukan mau bantu tapi hanya ingin lihat karena penasaran.” Meskipun bantu sedikit, Becky bisa bawa lampu-lampu berada di tangan untuk dioperkan kepadanya ketika ia telah berada di atas tangga.

“Barangkali saja nanti aku bisa ganti lampu sendiri, kan. Makanya aku juga perlu lihat.”

“Baiklah-baiklah.” Kalau anak sudah penasaran. Biarkan saja dia berjalan.
Lagian ada pengawasan orang tua seperti dirinya. Ia membiarkan Becky terus kesana kemari hingga saat ia tengah memaku salah satu dinding untuk memajang foto nikah mereka—yang disarankan dengan paksa dari sang Istri. Yang kini terlihat begitu tebar senyum lebarnya.

“Disini?” Freen memutar bola mata melihat binar senang Becky yang mengangguk tanpa bersuara. Lalu lanjutkan hantamkan palu itu untuk ditanam depan paku yang tengah dipegangnya.

“Hati-hati ya, Kak. Jangan kena tangan.”

“Ou! Sial!” Freen langsung melepas tangan pada paku untuk menatapi ibu jarinya yang kehantam dengan kasar.

Sial, sakit sekali. Berdarah sedikit di ujung kuku, untung tidak hancur jarinya. Tapi ini membuat dirinya otomatis bad mood. Jadi ia memilih untuk turun dari kursi yang kini dilepas Becky karena gadis itu sekarang tengah memegangi salah satu ibu jari.

“Sakit.” Becky mewek. Memegangi ibu jari tangan kirinya yang tiba-tiba terasa nyeri, persis saat Freen tidak sengaja menghantam palu pada jemari.

“Kok, jadi kamu yang kesakitan?” Freen mengencangkan alis dengan heran, lalu meraih ibu jari Becky yang tengah dipegang demi bisa melihat. Untuk kemudian menatap ada tanda kemerahan disana.

“Kalau Kakak terluka, aku juga bakal berbagi kesakitan di tubuh yang sama. Kakak lupa soal itu?”

Iya. Freen sebetulnya sudah tahu hal ini dari awal mereka menikah. Tapi karena selama mereka menikah dan tinggal bersama, Becky terlihat baik-baik saja. Bahkan ketika ia mimpi buruk ataupun dicubit bahkan dipukuli bantal olehnya, dia kelihatan tidak berada dalam tanda-tanda kesakitan yang dirasakan olehnya.

Itu kenapa Freen berpikir, kalau koneksi mereka barangkali berkurang karena telah tinggal bersama. Tapi ternyata ia salah.

Atau ... Dirinya yang belum memahami diantara ia dan Becky.

“Dikompres saja.” Freen mengabaikan jari kesakitannya yang berdenyut dengan tajam. Berjalan memegang tangan Becky untuk ke dapur demi mencari es batu untuk tangan gadis itu.

Dengan cekatan, ia mengambil salah satu kain bersih, mengisinya dengan es batu, lalu menyelimuti jari Istri yang kesakitan.

“Terimakasih.” Becky tersenyum lesung. Tebarkan pesona yang bahkan Freen, sulit untuk menerima.

Tapi entah reflek macam apa, Freen malah menekan jari kesakitan Becky dengan kuat karena sesuatu tidak tertahankan dalam hatinya.

“Aw! Kakak! Sakit!” yang direaksikan Becky dengan langsung mencubit lengan kayunya begitu kencang.

“Hei!” hingga Freen auto melepas diri dari dekatnya demi selamatkan lengan yang telah memerah. Kuat juga dia. “Kenapa kamu mencubit dengan keras?”

“Kakak sendiri yang duluan.” Becky cemberut. Jarinya sudah tidak sakit. Ternyata hanya sebentar.

Melirik antara lengan merah Freen dan kain isi es batu yang telah jatuh ke lantai. Ia hendak saja ambil si kain saat ia sadar. “Eh, aku cubit kakak tidak ikut kesakitan.” Tidak jadilah dia membungkuk.

Malah dengan iseng kembali cubit Freen dengan sama keras.

“Ahhh!!!”

Dan hasilnya ia memang tidak sakit!

Saking girangnya, Becky bahkan tidak perhatikan ekspresi mengernyit Freen yang kelihatan pasrah. Mau marah juga untuk apa. Istrinya memang aneh.

“Wah! Berarti kalau aku yang melukai Kakak, aku tidak ikut kesakitan!” ini penemuan baru!

“Hei! Apa itu maksudnya?!” Freen melotot ketakutan. Takut saja kalau bocah itu jadi seorang pembully bagi dirinya setelah tahu fakta baru ini.

Mungkin saja kan, Becky bakal balas dendam karena ia selalu memarahi gadis itu di setiap melakukan sesuatu.

ConnectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang