||PSM 28||

624 46 2
                                    

“Harta itu hanya untuk kepuasan dunia. Sedangkan ilmu itu ladang untuk berpanen di akhirat kelak.”

—Muhammad Adam As-Sidiq

Malam pun tiba. Acara tahlilan telah usai setengah jam yang lalu. Trisna memutuskan untuk pulang ke rumahnya yang berada di Jakarta. Awalnya ia ingin sekali menginap di kediaman keluarga Ganlades. Namun, mengingat Asya belum sepenuhnya mengingat dirinya, ia pun membatalkan niatnya dengan dalih rasa canggung.

Sedangkan Laila sudah pulang selepas acara tahlilan di bubarkan. Selain untuk mengistirahatkan badannya yang pegal-pegal, karena terlalu lama memasak. Ia juga harus memaksimalkan kondisinya untuk hari esok berjualan.

Hak waris keluarga Ganlades diturunkan kepada putri satu-satunya, siapa lagi? Jika bukan Asyana Viola Ganlades. Sedangkan beberapa tabungannya seperti tanah, dan saham perkebunan di tabungkan untuk bekal kedua cucu kembarnya.

Asya tersenyum, melihat Adam yang antusias membaca Al-Qur'an. Meski tidak terlalu keras, akan tetapi lantunan yang ia bawakan membuat hati Asya bergetar.

Sadar diperhatikan, Adam menyudahi bacaannya. Menengok ke arah Asya yang tersenyum lebar ke arah suaminya. “MasyaAllah, merdu banget suara kamu, Dam.”

Adam membalasnya dengan senyuman manis. “Alhamdulillah, Allah menganugerahi suara saya hanya untuk beribadah kepada-Nya.”

Mendengar respon Adam yang dipuji oleh Asya membuat wanita itu terkekeh pelan. Bukannya menyombongkan diri, ia malah memuji penciptaannya.

“MasyaAllah,” gumam Asya kagum.

“Oh iya, Dam. Kata Paman Yohan perusahaan Papah dikelola oleh aku. T-tapi aku gak bisa,” Asya mengigit bibir bawahnya. “A-aku boleh minta tolong gak sama kamu?”

Adam mengernyit. “Minta tolong apa?”

Asya meraih tangan kekar Adam, menggenggamnya erat. “Gantikan aku, untuk memimpin perusahaan Papah.”

Adam terdiam sejenak. “Saya punya perusahaan sendiri. Tidak mungkin saya kelola dua cabang perusahaan sekaligus.”

Asya mengerucutkan bibirnya, membuat Adam menatapnya khawatir. Dengan cepat ia kembali bersuara. “Tapi kalau memang kamu tidak sanggup, insyaAllah. Saya yang akan mewakili kamu sebagai pemimpin perubahan Ganlades.”

Senyuman lebar merekah di kedua lekukan bibir Asya. “Serius?”

“InsyaAllah...”

Saking senangnya Asya memeluk tubuh Adam erat, seakan-akan Adam adalah harta karun yang baru pertama kali ia temukan.

Sudut bibir Adam berkedut mencetak senyuman tipis. Di dekapnya tubuh Asya dengan rasa kasih sayang yang tiada kentara, sehingga Asya berucap.

“Terimakasih Adam. Memang kamu suami terbaik aku. Aku cinta sama kamu, Dam.”

Adam tidak bisa membohongi dirinya. Detak jantungnya terpacu kuat mendengar pengakuan Asya kepadanya. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan, darahnya seakan berhenti mengalir ketika Asya melontarkan kata-kata mutiaranya.

“Ulangi!” perintah Adam kepada Asya.

Wanita itu menatap Adam dengan satu alis yang terangkat. “Yang mana?”

“Yang kamu ucapkan tadi.”

“Kamu yang terbaik?”

Adam menggeleng. “Bukan yang itu.”

“Yang mana?” tanya Asya bingung. “Terimakasih?”

Lagi-lagi Adam menggeleng. “Selanjutnya dari kata-kata itu...”

Asya mengetuk-ngetuk dagunya berpikir. Sedangkan Adam menghela napas panjang. “Lupakan saja.”

“Aku cinta sama kamu?”

“Ya,” sahut Adam tersenyum puas.

Sedetik kemudian Asya tertawa, menenggelamkan wajahnya di dada bidang Adam. Pipinya memanas setelah mengatakan hal itu, sungguh! Awalnya ia tidak sadar. Namun setelah berpikir, ia pun bergeming, menahan rona merah yang tercetak jelas di kedua pipinya.

Sedangkan jantung Adam berdesir hangat. Rasa inilah yang sudah lama Adam nantikan. Dan malam ini, do'a-do'a sepertiga malamnya telah Allah kabulkan.

“Alhamdulillah, masyaAllah...”

“Ana ukhibuki fillah,” bisik Adam tepat di telinga Asya.

Wanita mengerjap-ngerjapkan kedua matanya polos. “Aku harus jawab apa?”

Adam tersenyum, menangkup kedua pipi Asya gemas. “Tidak perlu membalas apa-apa. Dengan kamu selalu bersamaku, mau suka ataupun duka. Hal itu sudah menjadi jawaban atas rasa cinta yang Allah hadirkan kepada kita.”

Asya meremas ujung baju Adam, ketika pria itu mulai meraba-raba tengkuk lehernya. Hanyut akan kehangatan yang dirasakan, keduanya menyatukan keningnya sambil tersenyum malu-malu, kompak memejamkan kedua matanya dengan Adam yang lebih dulu memimpin pergerakan.

“Ibadah malam, yuk. Sya.”

Asya mengangguk, menyetujui. Dan saat itu pula Adam membaringkan tubuh Asya dengan ia yang berada di atasnya. Perlahan tapi pasti, Adam mulai melancarkan aksinya, membuka kerudung Asya hingga sampai akhirnya ibadah panjang pun terjadi dengan rasa keimanan, kelembutan dan penuh akan kehati-hatian. Wallahu a'lam...

***

LANJUT?

KOMEN YA!!

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now