||PSM 11||

750 44 4
                                    

“Sejauh ini aku bahagia hidup bersamamu, tapi nanti? Ada kalanya kamu berpindah hati, seiring berjalannya waktu.”

— Asyana Viola Ganlades

Laila menatap Asya tanpa berkedip. “MasyaAllah, pangling saya, Mbak. Mbak Asya cantik banget.”

Asya tersenyum malu-malu dibalik cadarnya. “Mbak Laila bisa aja, hehe ...”

“Seriusan loh, Mbak.”

Asya menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang terhalangi oleh jilbab kebesarannya. “Makasih, Mbak. Mbak Laila juga cantik, kok.”

“Kita sama-sama cantik, 'kan kita perempuan, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Laila tersenyum, senang bisa berinteraksi dekat dengan Asya.

“Jadi berangkat gak nih?” tanya Adam yang sudah siap menyiapkan mobilnya dari bagasi.

“JADI DONG!” seru anak-anak kompak.

Adam terkekeh, begitu pula dengan dua wanita di belakangnya. Dua keluarga kecil itu pun kini bergabung, bercanda gurau di dalam mobil. Asya yang saat itu kesusahan memasuki mobil pun dituntun oleh Adam, lelaki itu dengan sigap membopong tubuh Asya membuatnya tersipu malu.

“Makasih.”

“Sama-sama, sayang.”

Setelah semuanya sudah siap, barulah Adam menyalakan mobilnya dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya Kaffa berseru.

“Yey! Sudah sampai!”

“Alhamdulillah...”

“Hati-hati, Nak!” peringat Adam ketika melihat Kaffa turun dari mobil dengan cara melompat seperti itu.

Kaffa menyengir, menampilkan deretan giginya yang putih. “Maaf, Ayah.”

Adam menggeleng pelan. “Excited banget yah, kamu.”

Semua berkumpul di tengah-tengah pasar malam. Fitya menarik-narik ujung baju Laila. “Ummi! Mau naik itu!”

Laila memandang arah telunjuk mungil anaknya yang mengarah kepada sangkar burung. “Aduh, jangan deh sayang. Ummi gak kuat kalau naik itu, suka muntah-muntah.”

“Tapi Fitya mau!”

“Kahfi juga mau! Ayok Bunda! Kita naik bianglala!” serunya bersemangat.

Asya menggeleng. “Bunda gak bisa, sayang. Kamu sama Ayah aja, yah. Bunda tunggu di bawah. Kaffa mau ikut Kahfi gak?”

Kaffa menggeleng sebagai jawaban. “Gak ah, Bun. Kaffa sama Bunda aja. Kita beli sosis bakar, yuk!”

Asya mengkode Adam melalui kontak matanya. Adam yang tidak mengerti maksud Asya pun mendekatkan wajahnya. “Kenapa?”

“Ih! Jangan deket-deket!”

Adam mengikis jarak diantara keduanya.  Lalu kembali bertanya. “Kenapa kedip-kedip mata kayak gitu? Aku gak ngerti, maksudnya apa sih?”

Asya menghembuskan napasnya panjang. “Kamu temenin Kahfi, ya. Sama Fitya sama Mbak Laila juga. Aku sama Kaffa tunggu kalian dibawah.”

Adam mengernyit. “Kamu gak ikut naik? Biar aku bantu, mau?”

Mendengar tawaran Adam, Asya langsung menggeleng tegas. “Gak deh, aku takut ketinggian. Kalian aja yang naik, aku tunggu di bawah.”

Adam menatap Asya lama, sedangkan wanita itu malah membuang muka malas. “Udah sana! Kenapa malah lihatin aku kayak gitu, sih!”

“Muka kamu lucu, jadi gak tega buat ninggalin—”

“Aw!”

Sepertinya mencubit pinggang Adam adalah hobi baru untuk Asya sekarang. “Kamu nih! Gombal gak tau tempat.”

Mendengar pekikan Asya membuat Adam tersenyum kikuk. “Habisnya muka kamu lucu gitu, Sya. Makanya kalau punya mata jangan suka melotot. Bukannya nyeremin, malah gemesin.”

“Sekali lagi kamu bilang gitu, gak aku izinin buat cium aku seenak jidat kamu!” ancam Asya sontak membuat suaminya gelagapan.

“S-sya?”

“Apa? Sana Hus! Katanya anak kamu mau naik bianglala, kasian tuh, mukanya udah cemberut gitu. Bentar lagi ilernya keluar,” ujar Asya memperhatikan gerak-gerik Kahfi yang menatap kedua orang tuanya jengkel, lantaran sibuk mengobrol sedari tadi.

“Astaghfirullah, hampir lupa aku, Sya.”

“Lupa mulu perasaan,” sindir Asya tidak didengar oleh Adam, karena beliau sudah berjalan duluan ke arah tempat mainan yang diinginkan oleh Kahfi dan Fitya.

Tinggallah Kaffa dan Asya yang kini memperhatikan keluarga kecilnya dari kejauhan. Dalam hati kecil Asya ia merasa cemburu, melihat kedekatan Adam dengan Laila.

Mereka seperti keluarga yang bahagia, bermain bianglala bersama, lalu berbagi cerita dengan canda tawa. Tanpa sadar air matanya menetes, membasahi pipinya yang memanas.

“Bunda! Bunda kenapa nangis?” tanya Kaffa membuat Asya terkejut.

“Hah? Gak, kok. Bunda gak papa, tadi Bunda kelilipan. Tapi sekarang udah gak papa, kok.” Bohongnya memaksakan senyum manis.

Kaffa menatap Asya lebih lekat. “Bunda bohongin Kaffa ya?”

“E-enggak, Bunda gak bohong.”

Kaffa mimicingkan matanya curiga. “Bibir bisa berbohong, tapi mata. Tidak bisa untuk dibohongi. Kalau Bunda lagi sedih, Bunda bisa cerita sama Kaffa. Kaffa siap jadi pendengar yang baik buat Bunda.”

“Kaffa...”

Kaffa memeluk tubuh Asya, tiba-tiba saja punggungnya terasa basah. Ternyata Asya benar-benar menangis, menumpahkan segala kesedihannya di bahu anaknya.

“B-bunda...”

“B-bunda sakit, Kaffa! Bunda sakit!”

Kaffa yang notabenenya anak kecil pun malah ikut menangis. Akhirnya keduanya sama-sama menangis di tengah-tengah lapangan pasar. Tidak peduli sekarang mereka menjadi pusat perhatian orang-orang.

“Semua orang berhak mencurahkan isi hatinya dengan cara yang tidak bisa diutarakan lewat kata, namun bisa dirasakan oleh batin yang terluka. Letak kebahagiaan itu ada, tapi ia tidak hadir untukku,” batin Asya mengeratkan pelukannya dengan sang anak.

--- TBC ---

Lanjut?

Komen!

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now