PROLOG

2.8K 116 5
                                    

Prang!

Seluruh tubuh Asya gemetaran. Semua barang di kamarnya berantakan, suaminya tak kunjung pulang dari kantor. Satu hal yang ia harapkan adalah menelpon ibu-nya yang tengah berada di Surabaya.

“Agh! Sakit sekali!” jerit Asya menahan perutnya yang terasa ingin meledak saat ini juga.

Hari ini kandungan Asya sudah genap sembilan bulan. Mungkin jika Allah menakdirkan hari ini Asya akan segera melahirkan.

Tut...

Syifanya tak kunjung mengangkat teleponnya. Kedua kaki Asya sudah mulai lemas. “Bi...”

Asya tidak kuat untuk berteriak lagi. Tenaganya sudah terkuras habis, ia berjalan menuruni tangga sambil memegangi perutnya hati-hati, berniat untuk meminta bantuan pembantunya yang berada di dapur.

Namun ketika Asya melangkah...

“AAA!”

Bugh!

Bi Ami yang tengah berada di dapur pun menghentikan aktifitas memasaknya. Dengan amat tergesa-gesa ia berlari kencang ke arah kamar majikannya.

Ketika sudah sampai di bawah tangga, betapa terkejutnya Bi Ami melihat darah yang berceceran dari atas tangga sampai  tepat di bawah kakinya.

“Astaghfirullahaladzim! Non Asya! Non!” teriak Bi Ami panik, lantaran majikannya jatuh dari tangga dalam keadaan hamil tua.

“Astaghfirullah! Laa ilaaha illallah!”

Derai tangis air mata terus mengalir tanpa jeda. Bi Ami langsung menelpon suami Asya — Muhammad Adam As-Sidiq.

“Hallo! Assalamualaikum...”

“W-waalaikumsalam... T-tuan...”

“Ya Bi Ami, ada apa? Saya sedang meeting di kantor. Banyak client yang berdatangan.”

Bi Ami mengigit bibir bawahnya menahan sesak. Menatap nanar wajah Asya yang kini tengah berlumuran darah.

“Hallo Bi? Kenapa? Asya baik-baik aja 'kan?”

“Hallo!”

“H-halo T-tuan N-non A-asya j-jatuh Tuan...”

Brakh!

Terdengar suara gebrakan meja kasar disebrang sana. Bi Ami menangis sesenggukan, bahkan suaranya pun kian terbata-bata.

“APA?! BAGAIMANA BISA?!”

“T-tuan...”

“Saya pulang sekarang!”

Tut....

Bi Ami menjatuhkan handphonenya. Bergegas keluar rumah untuk meminta bantuan tetangga. Sedangkan disisi lain Adam langsung membatalkan meeting-nya dengan beberapa perusahaan yang kini tengah bekerja sama dengannya.

“Istri saya jatuh. Saya harus segera pulang. Maka dari itu saya umumkan, meeting kita kali ini batal!”

Semua orang yang berada di ruang kerja Adam saling pandang satu sama lain. “Loh Pak—”

“Maafkan saya. Saya tidak punya banyak waktu. Istri saya lebih berharga dari apapun. Next time kita bicarakan soal pekerjaan ini lagi nanti,” ucap Adam membereskan semua berkas-berkas yang berserakan di atas meja.

“Saya pamit, Assalamualaikum!”

“Wa'alaikumsalam...”

Adam berlari menuju parkiran. Dengan perasaan gundah ia terpaksa menyetir mobil secara ugal-ugalan. Menerobos lampu merah hingga ia dikejar-kejar beberapa polisi yang siap untuk menilang dirinya.

“Astaghfirullah!” batin Adam lebih mempercepat aksinya.

Jujur saja Adam kalang kabut malam ini. Sudah tidak ada lagi pikiran positif yang menguasai isi kepalanya. Yang terpatri di dalam pikirannya hanya Asya. Ketakutan, serta kegelisahan yang ia rasakan sudah pasti akan berdampak buruk untuk dirinya yang kini tengah menyetir bak kesetanan.

Hawa nafsu Adam kian memuncak saat panggilan telepon kembali berdering. “Hall—”

“Agh!” kesal Adam ketika handphonenya tidak sengaja ia jatuhkan.

Adam menundukkan kepadanya, berniat untuk mengambil handphone yang berada di samping kakinya. Namun saat ia ingin fokus menyetir kembali, tiba-tiba ada seseorang yang menyebrang jalan sehingga...

“AWAS!” teriaknya kencang.

Ciit...

Bugh!

Degup jantung Adam berdetak kencang. Ia langsung keluar dari mobil, menghampiri orang yang tidak sengaja ia tabrak.

Dengan tangan bergetar Adam mengecek denyut nadi orang itu...

Inalillahi wainna ilaihi raji'un... apa yang telah hamba lakukan yaa Allah?!”

Adam berjongkok di hadapan sang korban. Menangis tanpa suara, dengan kedua tangan gemetaran. Sebentar Adam memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam sambil berucap.

Asyhadu alla ilaha ilallah, wa'asyhadu anna muhammadarrasulullah...”

Wiw... wiw... wiw...

Adam tersenyum ketika para polisi memborgol tangannya dari belakang. Bayangan Asya yang kini menatapnya kecewa hanya bisa Adam rasakan di dalam relung dada.

Begitu menyakitkan untuk ia ceritakan kepada istri tercintanya itu...

“Maafkan saya Asya, saya belum bisa menjadi imam yang baik untukmu.”

“Dan maafkan atas ketidak sengajaan saya yang telah menabrakmu. Kelak saya berjanji, siapapun pasanganmu, saya akan menjaga, mengasihi, dan menjadi peran pengganti untuk menjadi tulang punggung keluarga sejati.”

Janji Adam, sebelum akhirnya ia menatap wajah pias sang korban dengan batin yang dirundung banyak penyesalan.

_________

“Hidup itu hanya sekali, dan kematian tidak bisa diwanti-wanti. Jika bukan amal yang dibawa, maka kemunafikan tiada dusta.”








Pejuang Sepertiga MalamDonde viven las historias. Descúbrelo ahora