||PSM 07||

1.2K 70 4
                                    

“Jiwaku terasa hidup, namun ragaku seperti mati tak berdaya. Aku selalu dihantui banyak pertanyaan, sejujurnya siapa diriku sebenarnya?”

— Asyana Viola Ganlades.


Keluarga Ganlandes segera memasuki ruang rawat Asya. Sudah dipastikan perasaan mereka sangat bahagia mendengar kabar jika Asya telah sadar dari koma panjangnya.

Adam tidak bisa lagi membendung rasa terbarunya. Ia langsung berlari, membuka pintu kamar rumah sakit, sampai meninggalkan kedua anak kembarnya yang masih tertinggal di belakang.

Untung saja Gerald siap siaga menangkis tangan Kaffa serta Kahfi yang dilepas oleh Adam begitu saja. Mereka dengan cepat menyusul Adam yang sudah lebih dulu berjalan memasuki ruang rawat istrinya.

“A-asya...” lirih Adam meneteskan air matanya, menahan sesak.

Laki-laki itu memeluk tubuh Asya tanpa sabar. Menumpahkan rasa rindunya sampai tidak sanggup untuk berkata-kata lagi.

“K-kamu siapa?”

Deg!

Asya mendorong tubuh Adam membuat lelaki itu menatapnya cemas. Sedangkan tatapan Asya terlihat datar tanpa ekspresi.

“A-asya... Ini saya, Adam. Suami kamu,” ucap Adam meraih tangan Asya, namun wanita itu segera menipisnya.

Asya menggeleng. “Aku gak kenal kamu.”

Adam tertawa hambar. Menatap Dokter yang berada di sampingnya dengan tatapan meminta penjelasan. “Apa yang terjadi?”

Sang Dokter yang menangani Asya dari koma itu, menghela napas panjang. Menatap semua keluarga pasien dengan tatapan putus asa.

“Asya mengalami amnesia berkepanjangan. Benturan di kepalanya mengenai syaraf dalam. Sebagian memori ke belakang yang Asya miliki akan tidak ia ingat. Termasuk seseorang yang dekat dengannya—”

“Asya tidak mungkin amnesia! Jangan bermain-main kepada kami!” sentak Syifanya memotong penjelasan Dokter yang bernama Hilya Amaliya.

Wanita paruh baya itu menghampiri ranjang Asya. “Sayang, kamu ingat 'kan? Ini Mamah!”

Bibir Asya bergumam. “M-mamah?”

Syifanya mengangguk, sambil tersenyum lebar. Memeluk Asya yang hanya diam saja. “Mamah merindukan kamu, Nak.”

Tidak ada pergerakan dari Asya. Jangankan untuk membalas pelukan Ibunya, menatap manik matanya saja Asya merasa tidak enak.

“M-maaf. Aku gak suka dipeluk lama,” lirih Asya melepaskan pelukan Syifanya.

Tentu saja Syifanya tersentak kaget. Ia menatap Asya mencoba meyakinkan. “Kamu berbeda Asya. Mamah tau kamu sangat senang jika Mamah peluk, tapi sekarang? ... Are you oke?”

Wanita itu menggeleng lemah. “Siapa Asya?”

Syifanya meneguk ludahnya, menatap Dokter Hilya yang menepuk-nepuk pundaknya dari belakang. “Seperti yang saya katakan sebelumnya. Asya mengalami amnesia—”

“Asya pasti mengenali saya. Minggir! Biarkan Papah yang berbicara dengannya.” Tegas Gerald duduk di tepi ranjang.

Gerald tersenyum hangat ke arahnya. “Kamu pasti kenal sama Papah 'kan? Ah biar Papah tebak. Pasti kamu ngeprank kita 'kan biar kita kaget 'kan? Haha... Kamu tuh ada-ada aja idenya... Emang yah, anak Papah satu ini usilnya gak main-main haha...”

Gerald tertawa hambar, sedangkan Asya mengernyitkan dahinya heran. “Aku gak ngerti apa yang di omongin Om itu apa...”

Dengan gerakan cepat Gerald mengatupkan bibirnya rapat. Suasana menjadi hening kembali. “A-asya...”

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now