||PSM 27||

606 38 0
                                    

“Keikhlasan yang paling terasa pedih, adalah mengikhlaskan seseorang yang teramat kita cintai.”

—Astana Viola Ganlades

Kerabat dari keluarga Ganlades, mau dekat ataupun jauh sekalipin saling berdatangan, menghadiri pemakaman saudaranya dengan duka cita yang meneteskan banyak air mata. Tangisan pilu tumpah begitu saja di dalam mata kelam mereka yang kini menatap gundukan tanah basah itu, dengan senyuman miris.

Akhir tragis yang menyebabkan dua nyawa tewas, meninggalkan seorang wanita yang kini telah hidup sebatang kara. Meski begitu, ia tetap bersyukur karena Allah menghadirkan sosok penguat saat dirinya lemah dan tak bersemangat. Adam menggenggam tangan Asya, usai menaburkan bunga mawar serta do'a yang ia hadiahkan untuk kedua mertuanya.

“Aku gak punya siapa-siapa,” lirih Asya tiba-tiba.

Sang Paman jauh menepuk pundak Asya. “Kamu tidak sendiri. Ada Paman disini.”

Asya memandangnya sekilas. “Aku bahkan belum pernah bertemu denganmu. Bagaimana aku bisa percaya, jika kamu adalah Pamanku?”

Sang Paman itu beralih menatap Adam, seakan-akan meminta penjelasan. “Ada apa dengannya? Mengapa dia tidak mengenaliku?”

“D-dia Paman jauhmu, Sya. Beliau tinggal di Aceh. Paman Yohan adalah Adik sepupu dari Papahmu,” jelas Adam membuat Asya mematung.

Yohan mengerutkan dahinya. Ia baru ingat jika Adik sepupunya itu sempat kecelakaan tujuh tahun silam. Mungkin saja karena kecelakaan itu, menyebabkan separuh ingatannya hilang.

“Aku sempat tidak percaya dengan kata-kata Gerald dahulu. Maafkan saya, Asya. Bertahun-tahun saya meninggalkan kota ini, dan kembali dengan seorang diri. Bahkan kamu saja sempat tidak mengenali, ralat. Bukan sempat lagi, tapi kamu memang benar-benar telah melupakan Pamanmu.”

Tatapan Yohan berubah murung. Sedangkan respon Asya tetap sama. Wanita itu hanya diam, menatap pemakaman kedua orang tuanya dengan tatapan kosong.

Selepas dari itu, tiba-tiba ada seseorang yang berani memeluk Asya dari belakang. Mengejutkan daksanya yang sempat terhuyung ke samping.

“Lepas!” sentak Asya kepada seseorang di belakangnya.

Adam yang sigap dari samping, menahan tubuh Asya yang kini bergetar ketakutan. Tatapan kedua wanita itu saling beradu, hingga satu lawan bicaranya mengerjap tak terima.

“Hei! Asya! Sumpah! Gue kangen banget sama lo!” Lantang wanita berambut pirang serta berkacamata hitam itu berseru heboh.

Semua orang yang berada di pemakaman langsung menoleh ke arahnya. Asya semakin dibuat bingung dengan sikap orang-orang asing di sekitarnya.

Adam tersenyum. “Dia Trisna, sayang. Sahabat kamu.”

“T-trisna?” tanya Asya seperti orang linglung.

Adam menghela napas panjang. “Foto seorang gadis yang memakai baju seragam SMA yang pernah kamu tanyakan adalah dia. Trisna, sahabat karibmu yang kini menetap di Australia.”

“Lo lupa sama gue, Sya?! Gue Trisna! Ya Ampun! Sekarang lo bercadar ya? MasyaAllah banget kuy! Balad bebeledagan gue akhirnya dapet hidayah juga ya Allah.”

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now