||PSM 04||

1.3K 72 1
                                    

"Aku memang bukan pangeran yang bisa menjagamu dari serangan para musuh lawan. Namun aku hanya seorang pendosa yang berjanji untuk setia menjadi peran pengganti Imammu yang telah hilang."

- Muhammad Adam As-Sidiq.

Enam tahun Kemudian...

Kaffa mengerucutkan bibirnya sedih, sepulang sekolah ia langsung membanting tas ranselnya di hadapan Syifanya, meninggalkan Kahfi yang berada di belakang.

"ABANG!" panggil Kahfi mengatur deru napasnya yang tersenggal-senggal.

Pandangan Syifanya tentu saja kaget melihat kedua Cucunya kini pulang dari sekolah, namun dengan raut wajah yang berbeda. Yang satu tampak gelisah, dan yang satunya lagi tampak marah-marah.

"Kaffa. Kok kamu tinggalin Kahfi gitu aja sih?! Kasian loh Kahfi ngejar-ngejar kamu sampe kakinya gemeter gitu!" Marah Syifanya memberikan segelas air putih kepada Cucu bungsunya.

Kaffa memutar bola matanya malas. "Aku sebel, Nek!"

"Sebel kenapa hmm... Cerita sama Nenek."

Kaffa mendengus kesal. Menghentak-hentakan kakinya, seraya duduk di atas kursi. "Itu loh, Nek. Aku sebel sama Kahfi!"

"Kenapa lagi?" tanya Syifanya menatap kedua Cucu laki-lakinya itu bergantian.

"Abang di ejek sama temen Kahfi pas di kelas, Nek. Katanya kita gak punya Bunda sama Ayah," adu Kahfi sambil menundukkan kepalanya.

"A-aku belain temen aku, karena Abang dorong dia sampai jatuh. Aku marahin Abang di depan kelas, terus Abang marah balik sama Kahfi gara-gara aku bantuin temen kelasku."

"Bagaimana keadaan temenmu. Apa dia terluka parah, Nak?"

Kahfi menggeleng. Memberi kejujuran pasti kepada Neneknya. "Dia nggak kenapa-kenapa. Tapi Abang-"

"Aku gak suka di ejek, Nek! Lagian aku tahu Bunda lagi sakit. Tapi Ayah... Aku gak tau dia dimana. Makanya pas aku mau jawab soal Ayah, aku tiba-tiba kehilangan kata-kata." potong Kaffa melanjutkan laporan Adiknya.

Syifanya tersenyum, berjongkok di hadapan Kaffa sambil menarik Kahfi untuk mendekat ke arahnya juga.

"Nenek 'kan sudah bilang. Ayah kalian sedang berada di Pesantren." Bohong Syifanya tidak mau membuat Kaffa dan Kahfi kecewa.

"Mengapa lama sekali? Apa pesantren tidak memperbolehkan Ayah untuk pulang, meski hanya satu kali saja?" Pertanyaan yang sama seperti dulu kini terlontarkan kembali. Membuat Syifanya harus ekstra sabar menghadapi pertanyaan random kedua Cucunya itu.

"Ayahmu tentu saja akan pulang. Tapi tidak untuk sekarang, mungkin nanti. Kamu yang sabar ya sayang. Berdo'a sama Allah agar Ayah cepat pulang. Dan jangan lupakan Bunda juga, kalian harus banyak-banyak berdo'a agar mereka bisa bersatu kembali."

Kaffa terdiam sejenak. "Apa Ayah dan Bunda berpisah, Nek?"

Syifanya melotot kaget. "Kamu tahu darimana? Ayah sama Bunda kamu tidak berpisah sayang."

"Tapi kenapa tadi Nenek bilang biar mereka bersatu kembali? Bukannya itu-"

Drrttt... Drrttt...

"Bentar. Ada yang telepon, Nenek angkat dulu, ya. Kamu sama Kahfi ganti baju dulu, gih!"

Kaffa menghela napas panjang. Memungut tas ranselnya yang tadi ia lempar, lalu berjalan menaiki tangga. Meninggalkan Kahfi yang berdiam diri di tepi kursi ruang tamu.

Sedangkan Syifanya berlalu ke dapur sambil berbicara dengan seseorang melalui saluran telepon.

"Pesanan Ibu sudah siap. Nanti sore aku sama Anak aku kesana untuk mengantarkannya."

"Baik, Mbak. Antar saja kesini, kebetulan saya lagi masak. Mbak Lail jangan dulu makan, ya. Kita makan bareng disini."

"Aduh, Bu. Nggak deh, nanti ngerepotin lagi hehe ..."

"Ya nggak papa. Kan sambil nganterin kue catering. Kalau kamu gak sibuk, Ibu mau deh ajak kamu kajian malam juga disini. Itupun kalau kamu gak keberatan."

"InsyaAllah, Bu. Ya sudah, aku siap-siap dulu ya, Bu. Udah mendung, takut keburu hujan."

"Iya, hati-hati Mbak Lail."

"Na'am, Bu. Hapunten saya tutup... Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..."

****

Hari ini adalah hari kebebasan untuk Adam. Enam tahun berlalu begitu cepat, kini Adam telah terbebas dari jeruji besi yang menyiksanya beberapa tahun ini. Seulas senyuman manis terpatri di lengkungan bibirnya.

Adam di jemput oleh Papah mertuanya - Gerald. Sedangkan Rizik sudah menetap diri di Mesir. Meski begitu, mereka tidak putus komunikasi setiap saat. Bahkan saat ini saja Adam terus menghubungi Rizik untuk sekedar memberitahukannya, jika ia telah bebas dari penjara.

"Kita mampir dulu ke pemakaman Hasbi. Setelah itu kamu boleh menjumpai anak saya di rumah sakit."

Adam menganggukkan kepalanya. "Terakhir Asya sadar kapan, Pah?"

Gerald tampak berpikir sejenak. "Dua bulan yang lalu dia sempat sadar. Tapi tidak lama kemudian Asya kembali kejang-kejang. Para Dokter memberikan obat bius, sampai saat ini... Asya tidak sadarkan diri lagi."

Hati Adam terasa sakit mendengar cerita menyedihkan yang istrinya alami sekarang. "Asya koma karena kelalaian saya dalam menjaganya."

Gerald menggeleng. "Ini sudah kehendak dari Tuhan. Jangan salahkan dirimu sendiri, Adam."

Adam menghela napas panjang. Menatap keluar jendela yang dihiasi rintikan hujan. "Saya tidak menyalahkan, namun memang seperti itu kenyataannya."

--- TBC ---

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now