||PSM 25||

410 33 8
                                    

“Dan pada akhirnya perseteruan antara kita terselesaikan dengan baik, walau dalam hati masih menyiratkan kekesalan yang mendalam. Tak urung juang, hati akan kekal jika dibarengi dengan keimanan.”

—Asyana Viola Ganlades

Langkah kaki Laila terpijak nan berhenti tepat di pintu rumah Asya dan Adam. Kendati hatinya masih ragu untuk menemui duanya. Namun ia tidak punya pilihan lain, selain mengabulkan permintaan putri satu-satunya.

“Ass—”

“Mbak Laila!” kaget Asya ketika membuka pintu rumahnya, ia sudah dikejutkan oleh kehadiran Laila di depan pintu rumah.

“Assalamualaikum, Mbak.”

“Wa'alaikumsalam...”

Laila tersenyum gusar dibalik cadarnya. “A-anu M-mbak... a-aku minta maaf.”

Asya tersentak kaget, ketika tangan Laila yang kini bergetar menggenggam tangannya. “Mbak Asya. Aku tau aku salah. Tapi mohon, aku gak bermaksud untuk itu. A-aku cuma kecewa sama Pak Adam. Tapi sekarang aku sadar, jika permusuhan bukan solusi yang baik. Dan aku menyesal, akibat adanya perselisihan. Aku jadi membatasi anakku untuk menjalin persaudaraan.”

Asya mematung, menatap Laila yang kini menangis di hadapannya. Asya menarik Laila ke dalam pelukannya. “Udah, Mbak. Gak usah nangis. Aku ngerti, kok. Seandainya kalau aku diposisi Mbak Laila. Mungkin akan melakukan hal yang sama juga, dengan apa yang Mbak lakukan ke suami aku.”

“Aku udah maafin Mbak Laila. Sebelum Mbak yang meminta maaf duluan,” lanjutnya tersenyum hangat.

Laila dibuat kagum dengan kebaikan hati Asya. Meski dirinya sudah menghina derajat suaminya di pemakaman, namun tak urung, hatinya tetap lembut. Seperti tidak terjadi apa-apa.

Laila semakin dilanda rasa malu. “Orang gila mana yang musuhin orang sebaik Mbak Asya?”

Asya terkekeh mendengar ungkapan Laila barusan. “Jadikan pelajaran aja, Mbak. Semua orang berhak untuk kecewa, tapi jangan sampai larut akan kedalamannya. Sebab hati jika sudah dipenuhi rasa dengki, maka Allah akan menghilangkan rasa tenangnya dalam diri.”

“MasyaAllah, Mbak.”

“Itu yang sering Adam katakan sama aku, Mbak.” Asya melanjutkan ucapannya.

Tanpa disangka Adam tengah berdiri di belakangnya. Menyadari ada seseorang yang memperhatikannya, Laila segera melepaskan pelukannya dengan kepala menunduk.

“Lagi bahas apa?” tanya Adam merangkul pundak Asya.

Wanita itu tertegun. “Kok kamu bisa ada disini?”

“Denger kamu ngobrol di luar, udah gitu lama banget lagi. Saya kira kamu Cod-an sama kang kurir. Ternyata lagi ngobrol sama Laila hmm...”

Asya menghela napas panjang. Sedangkan Laila mencoba untuk menetralkan degup jantungnya yang semakin menggelora ketika berhadapan dengan Adam.

“P-pak Adam aku minta maaf.”

Adam tersenyum tipis. “Tidak apa. Benar kata istri saya. Jadikan pengalaman ini sebagai bahan pembelajaran. Agar kelak, kejadian ini tidak terulang semakin fatal lagi.”

Laila bersyukur kepada Allah yang telah menghadirkan orang baik seperti Adam dan Asya. Pasangan yang sabar, serta memuliakan tetangganya dengan hati yang tulus.

Sejak itu pula rasa malu Laila semakin memuncak. Namun sepertinya bukan waktu yang tepat untuk ia bergelut dengan egonya sendiri. Karena sekarang yang ia butuhkan, adalah sosok sahabat putri kecilnya yang kini tengah terbaring lemas di atas kasur.

“Oh iya. Pak Adam, untuk hutang belanjaanku tadi, aku udah transfer ke nomor rekening Pak Adam. Dan untuk kedatangan aku kemari, aku mau ajak Kaffa sama Kahfi main di rumahku. Apa boleh?”

Asya mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “MasyaAllah, Mbak. Boleh banget! Kaffa sama Kahfi pasti seneng banget. Dari kemarin loh, mereka tuh pengen banget main sama Fitya.”

Laila menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang dibaluti jilbab syar'i. “Hehe... iya, Mbak. Fitya juga sama...”

“Tapi untuk sekarang, aku gak izinin mereka main jauh-jauh. Karena kondisi Fitya lagi gak vit.”

“Astaghfirullah, Fitya kenapa Mbak?”

Tatapan Laila berubah murung. “Fitya sakit, Mbak. Dan itu karena ulah aku yang melarang mereka untuk bermain bersama Kaffa dan Kahfi.”

“Astaghfirullah!” kompak Asya dan Adam beristighfar.

“Ya sudah, Ayok. Kita ke rumah kamu sekarang. Sya, panggilkan anak-anak.”

“Iya, Dam.”

Kepala Laila terangkat. Dan ia baru menyadari akan satu hal. “M-mbak... M-mbak Asya bisa jalan?”

Adam menganggukkan kepalanya, mewakili. “Seminggu ini Asya terapi berjalan. Dan alhamdulillah, Allah mengizinkan kedua kaki Asya untuk bisa beraktivitas kembali, meski salah satu di antara kedua kakinya masih pincang akibat tulang dalamnya yang patah.”

Laila membekap mulutnya yang terhalang cadar dengan raut wajah terharu. “MasyaAllah...”

Adam tersenyum. Tidak lama setelahnya Asya pun kembali sambil menuntun kedua anak kembarnya kanan kiri.

Mereka bergegas meninggalkan rumahnya untuk berkunjung ke rumah Laila. Menengok Fitya yang saat ini tengah jatuh sakit.

---TBC---

LANJUT?

APA DULU?

KOMEN DULU!!!

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now