||PSM 24||

320 25 0
                                    

“Manusia itu makhluk sosial. Tidak ada yang bisa berdiri sendiri, mereka masih memerlukan bantuan orang lain. Oleh sebab itu, janganlah kamu menghindari sesuatu, demi sesuatu yang merugikan dirimu sendiri.”

—Muhammad Adam As-Sidiq

Kaffa mengusap kaca jendela kamarnya. Jujur saja, ia merasa kesepian. Meski Kahfi selalu bermain dengannya. Tetap saja ia merasa ada yang kurang saat melakukan segala hal.

Begitupun dengan Kahfi yang akhir-akhir ini tidak bersemangat ketika bermain di taman belakang. Sepertinya mereka kehilangan sisi humorisnya ketika Fitya tidak main lagi ke rumahnya.

“Bunda. Sampai kapan Fitya dikurung oleh Ummi? Bahkan ketika kami menghampiri rumahnya, Ummi malah mengusir kita berdua. Apa salah Kaffa sama Kahfi, Bun?!”

Rengekan yang menjadi alunan merdu bagi gendang telinga Asya kini terdengar kembali. Asya menghela napas panjang, berjongkok di hadapan Kaffa.

“Kamu yang sabar ya, Ummi belum bisa memaafkan kesalahan Ayah. Tapi Bunda janji, Bunda akan bujuk Ummi, dan Fitya agar bisa main lagi sama kita.” Asya mencoba untuk tetap tersenyum, meyakinkan kedua anaknya agar bisa belajar bersabar.

“Tapi sampai kapan, Bunda?!” kesal Kahfi menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan bibir mengerucut lucu.

“Secepatnya sayang. Do'ain Ummi, ya. Agar bisa Bunda bujuk.” pinta Asya yang mendapat anggukan kecil dari kedua bocah kembarnya.

Kendati tidak cukup, mereka menengok ke arah belakang. Menyadari langkah kaki seseorang mendekati ruang tamu.

“AYAH!” teriak Kaffa dan Kahfi serentak.

Keduanya langsung melayangkan pelukan hangat kepada Adam. Menyambut kedatangan sang Ayah dengan hati riang gembira.

Asya tersenyum, berdiri mendekati Adam, meski langkahnya sedikit pincang. “Adam...”

“Hati-hati sayang,” peringat Adam menahan tangan Asya yang hampir terjatuh.

Asya tersenyum menyalami tangan suaminya seraya berucap. “Tumben gak ngucapin salam?”

“Astaghfirullah! Tadi saya sudah mengucapkan salam. Tapi kamu sama anak-anak malah asik mengobrol. Lagi ngomongin apa sih?”

Asya menggaruk-garuk tengkuknya, sambil menjawab. “Hehe... kok gak kedengeran ya?”

“Tadi kami lagi ngomongin Laila sama Fitya, Dam. Kira-kira kapan ya? Mereka bisa maafin kita? Jujur, Dam. Aku gak enak lama-lama punya tetangga dingin kayak gitu. Berasa punya dosa,” ujar Asya merasa resah sedari kemarin.

Adam tersenyum, mengusap puncak kepala Asya dengan tatapan yang sulit di artikan. “Sabar ya. Saya lagi berusaha untuk meluluhkan hati yang keras itu.”

“Hmm iya, deh. Semoga Mbak Laila cepet memaafkan kesalahan kamu waktu dulu, Dam.”

“Aamiin ... bantu do'a, ya. Sya.”

“InsyaAllah...”

***

Tangan Laila bergetar hebat. Suhu tubuh Fitya tiba-tiba panas, mungkin gadis kecilnya itu terkena demam. Sudah tiga harian Fitya mengurung diri di kamar. Nafsu makannya berkurang, kegiatan di luar pun Laila batasi. Menyebabkan mental Fitya tiba-tiba dwon sampai jatuh sakit.

“Nak, maafin Ummi. Tolong jangan buat Ummi khawatir,” lirih Laila mengusap pipi Fitya yang memanas.

“K-kahfi ... F-fitya kangen Kahfi,” gumam Fitya dengan mata terpejam. Sudah semingguan ia mengingau dengan nama Kahfi atau Kaffa. Sesekali ia mengucapkan rindu, kangen, dan ingin cepat-cepat bertemu dengan kedua sahabat kembarnya.

Namun atas keegoisan Laila. Harapan Fitya musnah, sehigga ia hanya mampu mengatakan kata-kata rindunya di dalam mimpi yang tidak mau ia singgahi.

“Maafkan Ummi sayang. Tolong, cepat sembuh ya. Ummi gak punya siapa-siapa lagi. Ummi cuma punya kamu doang,” ucap Laila mengusap air matanya yang jatuh mengenai selimut tebal milik Fitya.

Samar-samar Fitya mendengar isakan tangis Laila. Tangannya terulur, berniat untuk menghapus jejak air mata sang Ummi. Namun Laila segera menggenggamnya, seakan membiarkan air matanya jatuh begitu saja.

“Kamu pasti laper. Ummi buatkan kamu bubur, kamu makan ya.”

Fitya menggeleng. “F-fitya cuma mau main sama Kahfi Ummi. Tolong bawa Fitya ke rumah Bunda dan Ayah.”

Laila menatap Fitya penuh keprihatinan. Sejenak ia mengambil napas dalam-dalam. Lalu mengeluarkannya secara perlahan.

“Kamu sudah tahu, bahwa Ayah menyebab Abi kamu meninggal. Kenapa kamu tetep kekeuh mau main sama mereka? Mereka jahat Fitya!”

“Ayah gak jahat Ummi! Ayah baik. Ayah gak sengaja nabrak Abi. Itu yang Kahfi katakan sama Fitya kemarin. Tapi Ummi malah usir mereka. Kaffa sama Kahfi gak salah Ummi!”

Laila menggeleng. “Mereka memang tidak bersalah, tapi Ayahnya yang bersalah.”

“Kalau gitu Ummi harusnya marah sama Ayah aja. Jangan sama Kahfi ataupun Kaffa. Mereka teman baik aku!” kekeuh Fitya tidak mau kalah.

Seakan tersadar. Laila akhirnya terdiam, menatap Fitya sambil berkata. “Oke! Fine. Ummi suruh Kaffa sama Kahfi kesini. Tapi kamu jangan sakit-sakitan lagi. Ummi gak mau kamu kenapa-kenapa. Ummi lakukan semua ini, demi kamu. Demi kesembuhan kamu.”

Kedua mata Fitya berbinar. “Beneran Ummi?”

“Hmm...”

“YEY! MAKASIH UMMI! FITYA SAYANG BANGET SAMA UMMI!” teriak Fitya kegirangan. Sampai-sampai ia langsung loncat dari kasur, memeluk Laila erat.

Laila terkekeh kecil. Mencium puncak kepala Fitya. “Iya sayang. Kamu tiduran lagi, ya. Biar Ummi yang samperin mereka.”

Fitya menurut, menarik selimut tebalnya sebatas dada. Sedangkan Laila tersenyum pedih, sepertinya memang hari ini ia harus berdamai dengan keadaan. Bukannya memaafkan lebih baik, daripada lama menyimpan dendam  yang menjadi sebuah pikulan beban?

----TBC---

LANJUT?

KOMEN DULU DONG😉

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now