||PSM 26||

518 34 4
                                    

“Terlihat susah, tapi Bismillah. Allah selalu bersama orang-orang yang selalu memanjatkan nama-Nya.”

—Laila Zahratusya'ban

Adam serta anak-anak bermain di kamar Fitya. Sedangkan Laila dan Asya sibuk memasak di dapur. Meski sebenarnya Asya belum mahir memasak, tetapi ia ingin belajar lewat Laila yang membimbingnya dari mulai memotong, merebus, hingga makanan itu matang.

“Mbak Laila pinter masak, makanannya juga enak banget. Gak rugi sih aku langganan terus sama kamu.”

Laila tersenyum manis dibalik cadarnya.  “Alhamdulillah, Mbak.”

“Kapan-kapan ajarin aku masak ya, Mbak. Aku pengen juga bisa masak kayak Mbak Laila, biar Adam gak sering jajan di luar terus.”

“Loh, emang kalau di rumah gak sering masak Mbak?” tanya Laila keheranan.

Asya menyengir kuda, menampilkan deretan giginya yang putih. “Hampir gak pernah masak lagi, terakhir masak itu makanannya gosong. Alhasil gak bisa di makan deh. Aku masak kalau ada Adam doang, itupun masih dituntun hehe...”

Laila menghela napas panjang. “Beruntung banget ya, Mbak. Punya suami seperti Pak Adam, bisa masak, sabar. Dan pengertian sama keluarga.”

“Alhamdulillah, tapi saya lebih beruntung mempunyai istri seperti Asya.” Bukan Asya yang menyahut. Melainkan Adam yang baru saja turun dari kamar Fitya.

Asya membalikkan badannya kaget. “Loh Adam! Kok bisa disini?”

“Bisa dong, kan saya hidup, Sya.”

“Maksud aku—”

“Wihhh... lagi masak apa nih? Kayaknya enak banget,” pungkas Adam berjalan melewati Asya. Menengok makanan yang berada di dalam panci.

“Masak sayur sup. Kesukaan kamu tuh,” ujar Asya yang langsung diangguki oleh Adam.

Laila tersenyum tipis melihat kedua pasangan suami istri itu terlihat sangat harmonis. Karena tidak mau mengganggu, akhirnya Laila berucap. “Aku izin ke atas dulu ya, Mbak. Mau panggil anak-anak.”

“I-iya, Mbak.”

Laila berlalu menaiki tangga meninggalkan Asya dan Adam yang masih berada di dapur.

Drrtt... drrtt...

Ponsel Adam bergetar di dalam saku kemejanya. Adam menekan tombol hijau, lalu meletakkan benda pipih itu di telinganya.

“Assalamualaikum, hallo, Pah.”

“Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh... apa benar ini nomor saudara Adam?”

Adam terdiam sejenak, menaikkan satu alisnya bingung. “I-iya... i-ini siapa ya?”

“Alhamdulillah ... sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Andri Wijaya dari rumah sakit Mekar Abadi. Ingin mengabarkan, innalillahi wa inna ilaihi roji'un, pasien yang bernama Gerald Ganlades serta istrinya, Syifanya Viola Ganlades telah berpulang ke rahmatullah—”

Deg!

“Anda jangan main-main!”

“Saya tidak main-main, Pak. Jika Anda tidak percaya, silahkan datang ke rumah sakit Mekar Abadi untuk menjemput jenazah pasien.”

Tatapan Adam tertuju kepada Asya yang sibuk mengaduk sup di dalam panci. Air matanya lolos begitu saja. Kembali mendengar penjelasan dari seseorang yang menyampaikan kabar duka itu.

“Korban dinyatakan tewas usai kecelakaan mobil yang jatuh ke dalam jurang. Tapi untungnya, ada beberapa barang bukti yang cukup kuat untuk kami tangani. Sehingga saya dapat menyampaikan kabar duka ini kepada keluarga yang bersangkutan, karena saya yakin, nama kontak terakhir yang almarhum panggil, adalah Anda. Keluarganya?”

Tubuh Adam menegang sempurna. “Betul. Tadi pagi Papah sempat telepon saya mengenai kemajuan perusahaan. Terima kasih atas informasinya, saya dan istri saya akan segera datang kesana.”

“Baik, kami tunggu kedatangannya.”

Tuttt...

Sambungan telepon terputus secara sepihak. Adam tiba-tiba memeluk Asya dari belakang, membuat wanita itu tersentak kaget.

“Adam! Kamu apa-apaan sih! Lepasin! Ini di rumah Laila. Bukan di rumah kit—”

“Kita ke rumah sakit sekarang.”

Asya menghentikan gerakan tangannya yang sibuk mencicipi kuah sayur. “Siapa yang sakit?”

Adam membalikkan badan Asya agar berhadapan dengannya. Dengan napas yang berdebar, Adam kembali meneteskan air matanya membuat Asya kebingungan.

“Ya ampun. Adam! Kamu nangis? Kenapa?” panik Asya ketika sadar suaminya menangis tanpa sebab.

Adam menahan pergerakan Asya. Mematikan kompor yang masih menyala, lalu menarik istrinya ke dalam delapan hangat.

“Papah sama Mamah.”

“Papah sama Mamah kenapa?”

Sebelum mengatakan kebenarannya. Adam menatap langit-langit dapur, menguatkan dirinya agar tetap tegar di hadapan Asya.

“Papah sama Mamah, meninggal.”

Asya menutup mulutnya kaget. “Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...”

“Dam...”

Adam segera menarik tubuh Asya ke dalam pelukannya kembali. Dapat disaksikan oleh Laila dan ketiga anak-anaknya yang masih berada di atas tangga.

Tanpa sadar Laila ikut menangis, sedangkan ketiga anak-anaknya menatap semua orang dewasa itu bingung.

“Bunda sama Ayah kenapa nangis?” tanya Kaffa mengetuk-ngetuk dagunya berpikir.

“Iya... ehh, Ummi juga nangis?” timpal Fitya mendongakkan wajahnya ke atas.

Laila merengkuh ketiga anak-anak itu. “Sini sayang, Ummi butuh pelukan kalian.”

“Ummi kenapa? Bunda sama Ayah juga kenapa?” pertanyaan itu terus berputar di kepala Laila, membuat wanita itu semakin larut akan kesedihan yang tengah Adam dan Asya rasakan.

Begitu juga dengan dirinya yang tiba-tiba teringat akan kematian suaminya, “Allah lebih sayang mereka, nak.”

“Mereka siapa?”

“Kakek dan Nenekmu.”

Deg!

---TBC---

lanjut?

Komen ya!!😄

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now