||PSM 23||

304 22 3
                                    

“Sulitnya berdamai dengan keadaan, karena adanya rasa yang tak bisa ditahan. Rasa itu hadir, ketika kita tak sengaja saling bertatapan.”

—Laila Zahratusya'ban

Tujuh hari berlalu begitu cepat. Hari ini dimana jadwal Asya terapi berjalan, dibantu oleh Dokter spesialis saraf dalam, membuat Asya berkembang dari kelumpuhan.

Tiga hari berturut-turut Asya sudah bisa berjalan dengan normal, meski sering kali di bantu oleh Adam sebagai pegangan. Namun begitu, Adam tetap bersyukur. Karena ikhtiar dan do'a keduanya kini membuahkan hasil yang memuaskan.

“Alhamdulillah, Mbak Asya sekarang sudah bisa berjalan lagi. Tapi saya tetap kasih saran, agar jangan terlalu banyak bergerak. InsyaAllah besok kita akan menjadikan pelunakan tulang, agar betis Mbak Asya semakin kuat saat digerakkan.” Dokter Hilya tersenyum puas. Kegigihannya dalam menyembuhkan kelumpuhan yang Asya alami kini membuahkan hasil, yang tentunya membuat Asya bahagia dan bersyukur.

“Alhamdulillah. MasyaAllah, terima kasih, Dokter Hilya,” ucap Asya meteskan air matanya terharu.

Adam memeluk Asya dari samping. “Alhamdulillah... yaa Allah, terima kasih. Berkat engkau, istri saya bisa berjalan kembali.”

“Sekarang kamu tidak perlu membutuhkan kursi roda ini,” ujar Adam menggeserkan kursi roda Asya.

Tatapan Asya berubah murung. “Ih! Dam! Aku gak mau. Aku belum bisa jalan jauh, cuma bisa jalan lima langkah sepuluh langkah.”

“Kan ada saya, Sya. Nanti saya tuntun kamu jalan,” kata Adam mengusap puncak kepala Asya.

Dokter Hilya tersenyum melihat keromantisan keduanya. “Benar kata Pak Adam, Mbak. Sepertinya Mbak Asya tidak perlu lagi memakai kursi roda. Karena saya yakin, suami Mbak bisa menuntun Mbak untuk bisa berjalan. Anggap aja latihan, Mbak.”

Setelah menimbang-nimbang. Akhirnya Asya pun mengangguk, menyetujui. Setelahnya mereka bangkit, berniat pamit.

“Waktunya sudah cukup, saya dan Asya pamit pulang, Dok. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya, maaf semingguan ini kami banyak merepotkan Dokter.”

Dokter Hilya menganggukkan kepalanya.  “Sudah menjadi kewajiban saya untuk merawat Mbak Asya. Dan lagi, saya tidak merasa di repotkan sama sekali. Saya senang bisa membantu Mbak Asya berjalan.”

Tatapannya beralih kepada Asya. “Lekas sembuh ya, Mbak. Semangat!”

Asya tersenyum, memeluk Dokter Hilya terharu. “Makasih, Dok.”

Senyuman Dokter Hilya tidak pernah pudar. Tangannya terangkat, mengusap punggung Asya yang dibaluti oleh baju, serta kerudung panjang menutup auratnya.

“Sama-sama, Mbak.”

***

Usai pulang dari rumah sakit, Adam berniat mampir ke super market untuk membeli bahan makanan bulanan. Sejenak ia melirik Asya yang terlihat letih, lantaran bersemangat latihan berjalan.

Adam terkekeh, menggenggam tangan Asya meminta izin. “Saya mau belanja bahan-bahan makanan buat di rumah. Kamu mau ikut? Atau mau istirahat di mobil?”

Asya terdiam sejenak. “Nunggu disini aja, Dam. Tapi kamu jangan lama-lama, ya.”

“Iya, gak lama, kok. Cuma beli bahan sama stok cemilan si kembar,” ucap Adam tersenyum lembut kepada Asya.

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now