||PSM 22||

376 29 1
                                    

"Seserius apapun kamu dalam mencintai, pasti hatimu akan terluka jika cintamu bukan karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala."

-Asyana Viola Ganlades

Disinilah Adam dan Asya berada. Digundukan tanah yang di atasnya terdapat batu nisan bertulisan 'Muhammad Hasbi Ginanjar'

Sudut bibir Adam mengukir senyuman miris. Paska kematian suami Laila ia sering dihantui rasa bersalah, entah siang maupun malam. Rasa itu akan selalu hadir, menyisakan ruang duka yang teramat mendalam baginya.

“Assalamualaikum, Yaa Ahli kubur.”

Adam berdo'a seraya menumpahkan air mentah di atas pemakaman Hasbi. Bergantian dengan Asya, ia pun ikut menaburkan bunga mawar sambil berdo'a di dalam hati masing-masing.

Usai berziarah, Adam berjongkok di hadapan Asya yang masih setia di atas kursi roda. Menatap makam Hasbi dan istrinya bergantian.

“Hasbi, saya datang bersama istri saya. Maaf telah mengecewakan istrimu. Tapi sungguh, kami tidak ingin membuat benteng permusuhan dengannya. Kesalah pahaman tempo hari, semoga Allah memberikan kami jalan keluar, sehingga tidak saling menyalahkan diri satu sama lain.”

“Hasbi, mungkin perkataan saya ini dapat melukai batin istrimu. Tapi ketahuilah, saya tidak berniat untuk mempermainkannya. Saya hanya ingin menjadi sosok pelindung baginya, sosok dirimu yang kini tidak ada lagi di dekatnya. Izinkan saya untuk menjadi peran pengganti keluargamu, saya mohon. Terimalah segala maaf yang saya panjatkan untukmu disetiap sepertiga malamku.”

Adam berkata lirih, naas tidak terdengar. Sedangkan Asya mengelus punggung Adam, menguatkan lelaki itu. “Kam—”

“Kalian?!”

Keduanya dikejutkan oleh kehadiran Laila bersama Fitya di pemakaman. Adam menyeka air matanya, dan langsung bangkit begitu saja.

“Laila?!”

Tatapan wanita itu cenderung tajam dan menusuk. “Sebaiknya kalian pulang. Saya mau berjumpa ke rumah suami saya.”

Mendengar perkataan dingin dari Laila membuat Adam dan Asya tersentak. Sedangkan Fitya menatap sang Ummi penuh tanda tanya.

“Ummi, kenapa ngomongnya jutek gitu sama Bunda dan Ayah?” tanya Fitya mengalihkan perhatian ketiganya.

“Mereka bukan Ayah atau Bundamu. Mereka hanya orang asing,” sindir Laila seakan tidak kenal dengan Asya maupun Adam.

“Astaghfirullah, Mbak. Mbak Laila kenapa jahat gitu? Aku yang dengernya aja gak enak, loh. Apalagi Fitya—”

“Saya tidak punya urusan dengan Anda. Sebaiknya Anda pulang, dan urusi kehidupan Anda masing-masing. Jangan mencampuri urusan orang lain,” ketus Laila memancing kesabaran Adam.

“Laila! Kamu tidak berhak meninggikan suara kepada istri saya. Jika kamu tidak bisa memaafkan kesalahan saya. Setidaknya kamu punya kuasa dendam hanya sama saya saja, jangan sama Asya. Karena dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang menimpa Hasbi dan saya tahun lalu.”

Laila tersenyum sinis dibalik cadarnya. “Memang dasarnya pembunuh berkedok malaikat ruh. Dia yang sudah jelas-jelas salah, malah membelokkan fakta ke arah lain.”

Bukannya berziarah, Laila malah semakin gencar membalas sangkaan Adam dan Asya di tengah-tengah pemakaman. Keributan itu berlangsung lama, sebelum akhirnya Asya mengalah.

“Stop! Mbak. Dengan cara Mbak yang menuding suami saya pembunuh. Secara tidak langsung, Mbak sudah menghina derajat suami saya.” Asya membalas tak kalah sengit.

“Kalau bukan pembunuh, lalu saya harus memanggil suamimu apa? Penolong disaat nyawa orang tidak bisa tertolong?”

Asya mengepalkan tangannya, hendak membalas sindiran pedas Laila. Namun sebelum perang dingin itu terjadi lebih lanjut, Adam segera merelai pertengkaran tak mengenakkan itu.

“Sudah, sudah! Sebaiknya kita pulang. Maaf Laila, saya dan Asya pamit duluan. Dan satu lagi, ingat pesan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada umatnya. Jika seorang hamba bermusuhan, lebih dari tiga hari berturut-turut, maka nerakalah baginya.”

“Astaghfirullahal'adzim!” Seakan tersadar, Laila langsung menekan dada kirinya, merasakan sesak teramat dalam di sana.

Desas-desus tentang amalan yang ia harapkan kini lenyap bagaikan air mengelilingi pusaran. Hatinya memanas, jantungnya berdetak kencang.

“Yaa Allah, maafkan hamba yang telah termakan nafsu syetan yang merajalelai tekad hamba, Yaa Allah. Sesungguhnya hamba teramat menghindari adanya permusuhan, tapi perselisihan yang menimpa suami hamba, sepertinya, hamba butuh keadilan yang sepadan.”

Sayangnya ucapan itu tidak terdengar oleh Adam maupun Asya, karena sedari tadi mereka sudah pergi, tanpa menoleh ke belakang lagi.

Laila berjongkok di hadapan pemakaman suaminya. Mengusap batu nisan itu dengan air mata yang mengalir membasahi kain putih, yang ia kenakan sebagai cadar untuk menjadi penghalang bagi tampilan wajah cantik di dalam dirinya.

“Mas, aku mau curhat sama, Mas. Sama Fitya juga,” lirih Laila menoleh ke arah pemakaman suaminya dengan Fitya — anak satu-satunya.

Laila benar-benar menumpahkan rasa sedihnya di sana. Berkeluh kesah tiada ujungnya, sampai langitpun ikut mendung, menyaksikan kesedihan yang di deritanya selama ini.

---TBC---

NEXT 👇


Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now