||PSM 21||

418 31 6
                                    

“Jangan mengajari manusia lain untuk bersyukur, jika dirimu sendiri saja sering kali mengeluh kepada Tuhan.”

—Muhammad Adam As-Sidiq

Adam menceritakan panjang lebar kejadian yang menimpanya enam tahun silam. Semua orang yang berada di sana langsung menangis, begitu juga dengan Asya yang menjadi korban kecerobohan suaminya, meninggalkaan dirinya yang saat itu tengah hamil tua.

“Saat itu saya kehilangan kesadaran saya, Sya. Semuanya terjadi tiba-tiba. Maafkan saya, Asya. Karena saya keluarga kita tidak sempurna seperti apa yang kita harapkan.”

“Kaffa, Kahfi. Maafkan Ayah. Ayah telah membohongi kalian, begitu juga dengan Papah, Mamah, dan Bapak. Maafin Adam.”

Kaffa memeluk Adam, diikuti oleh Kahfi. “Kami tidak marah Ayah. Jangan menangis, Bunda jadi ikut nangis mendengar cerita Ayah.”

Adam mengangguk. Menatap Asya yang masih shock atas pengalaman tragis yang di deritanya selama ini.

“Mungkin ini karma buat aku, Dam. Aku lumpuh karena Mbak Laila belum mengikhlaskan kepergian suaminya. Aku juga penyebab kamu kecelakaan. Aku—”

“Sut! Sayang... tidak begitu. Ini terjadi karena kehendak Tuhan. Tidak ada yang perlu disalahkan. Ini sudah takdir, ketetapan Allah yang tidak bisa kami cegah. Semuanya sudah di atur oleh sang Maha Kuasa langit dan bumi.”

Asya turun dari kursi rodanya. Meminta pelukan hangat suaminya. Dengan senang hati, Adam yang berada di atas tikar merentangkan tangannya, menyambut kedatangan Asya yang memeluknya erat.

“Kaffa, Kahfi. Kemari, nak.” Gerald memanggil kedua cucunya, agar Asya leluasa memeluk suaminya.

Adam beberapa kali meminta maaf, kepada keluarganya, maupun kepada Hasbi yang sudah tidak ada lagi di muka bumi ini.

“Aku selalu mendo'akan dia di dalam sepertiga malamku. Aku juga mendo'akan batin Laila agar bisa mengikhlaskan kepergian suaminya. Namun sepertinya sulit untuk meyakinkan dia, jika permata lebih indah ketimbang batu bara.”

Asya menyeka air matanya. “Besok antar aku ke makam Hasbi, ya. Aku mau ziarah kesana.”

Adam mengangguk. “Boleh.”

Rizik menepuk pundak Adam. “Tetap tabah. Dan berikan Laila ketenangan. Jangan terlalu mengusiknya, karena saya lihat, ia murka terhadap tindakan kita.”

Adam tersenyum tipis mendengar usulan dari Rizik. “Adam sudah mewanti-wantinya dari jauh-jauh hari, Pak. Karena hakikatnya, semua dosa yang ditutup-tutupi akan terbongkar oleh Ilahi Rabbi. Hanya saja waktunya ada yang tepat, ada juga yang tidak.”

Rizik tersenyum, menepuk pundak Adam seraya berkata. “Bapak percaya sama kamu, Dam. Lakukanlah apa yang seharusnya kamu pertanggung jawabkan.”

“InsyaAllah.”

***

Fitya menggoyang-goyangkan lengan Laila dengan tatapan penuh harap. Pintu rumahnya langsung ditutup rapat, tidak membiarkan Fitya untuk keluar rumah. Jangankan keluar, bahkan untuk mengambil air minum saja, langkah kaki gadis kecil itu harus ada dalam pengawasan Laila.

Ketakutan yang selama ini telah Laila kubur dalam-dalam, kini kembali mengintai kenangan baru yang menggores relung hatinya tanpa permisi.

“Ummi! Mau main sama Kahfi!” rengek Fitya menangis histeris.

“Udah Ummi bilang gak, ya gak! Kamu ngerti gak sih, Fitya?!”

Laila menghela napas panjang, memejamkan matanya hampir hilang kontrol. “S-sayang, maafkan Ummi... Ummi gak bermaksud buat bentak kamu.”

Fitya mendorong Laila. “Ummi jahat!”

Fitya berlari ke kamarnya. Laila terdiam membeku, menatap kepergian anak gadisnya dengan air mata yang bercucuran.

“Maafin Ummi, sayang.”

Laila menyusul ke arah kamar Fitya dan ternyata pintu kamarnya sudah ia kunci dari dalam. “Sayang!”

“Ummi jahat!”

“Ummi gak jahat. Ummi khilaf barusan, sayang. Buka ya, Ummi buatkan puding mau?” bujuk Laila mengusap air matanya yang hendak turun kembali.

Tidak ada sahutan dari dalam, membuat Laila dirundung rasa takut. “Fitya! Nak! Kamu masih di dalam kan! Tolong buka pintunya.”

Tok!

Tok!

“Fitya! Tolong jawab sayang! Maafkan Ummi, Nak! Tolong buka pintunya! Ummi mau bicara sama kamu!” teriak Laila berusaha membuka pintu kamar anak gadis mungilnya.

Sedangkan di dalam kamar Fitya memeluk lututnya, menangis di pojok ruangan. Tidak menyahut teriakan Laila, membuat sang Ibu khawatir bukan main.

“Fitya! Buka sekarang! Atau Ummi dobrak!” teriak Laila membuat Fitya tercengang.

“U-ummi pergi aja! Fitya lagi gak mau ketemu Ummi! Ummi jahat!” balas Fitya naik ke atas ranjang. Lalu ia menangis kembali, sampai akhirnya gadis kecil itu kelelahan, dan tidur dalam posisi terlentang.

--- TBC ---

NEXT???

Pejuang Sepertiga MalamWhere stories live. Discover now