I DON'T KNOW ANYTHING

Start from the beginning
                                    

Toko ini masih buka meski tanggal 31 Desember akan segera berakhir. Aku berdiri cukup lama di depan etalase yang menyajikan berbagai macam kue cantik. Akhirnya, aku memilih apple crumble pie kesukaan Ibu. Namun, mataku tak bisa menolak saat melihat kue sus dengan krim dan buah segar di atasnya. Itu kesukaanku sama seperti Ayah.

"Hmm, satu apple crumble pie dan satu kue sus dengan buah segar," ucapku pada yang pelayan tampan yang kuyakin berusia sekitar awal tiga puluhan.

Sembari menunggu si pelayan mengambil dan meletakkannya di dalam kotak, atensi teralih akibat suara televisi yang terpasang di sudut atas toko. Seorang pembawa berita mengabarkan acara pertemuan antara walikota dan anggota dewan perwakilan daerah dengan Daejib Group dalam rangka menyambut tahun baru sekaligus mengkonfirmasi kerjasama yang masih berlanjut dalam rangka pembangunan kota industri dan bisnis.

"Daejang merupakan bukti kerjasama tersebut dan kini keberadaannya telah membuat daerah Gilsijang semakin maju. Kim Seokwoo dan Walikota menandatangani MoU terkait pembangunan bisnis lainnya di beberapa daerah demi meningkatkan..."

Aku terdiam setelah mendengar Daejang disebutkan lagi dan kali ini walikota beserta partai yang menaunginya ikut disebut.

"Daejib membiayai kampanye mereka dan sebagai gantinya, Daejib mendapatkan lahan untuk membangun pabrik dan toko," sahut si pelayan yang mungkin mendapatiku sedang memperhatikan berita di televisi.

"Kerjasama semacam itu juga ada, ya?" ucapku berkomentar.

"Lebih parah, kami dulunya dipaksa menandatangani persetujuan pengosongan tempat demi pembangunan Daejang. Itu berjalan sengit karena banyak yang menolak. Namun, hak-hak kami dirampas,"

"Anda dulunya tinggal di Gilsijang?" tanyaku mulai tertarik.

"Ya, benar. Kau tahu Jeon Jung-il?"

Aku mengangguk tipis. "Aku pernah dengar. Dia korban pembunuhan di Gilsijang dua belas tahun lalu itu, bukan?"

Pelayan itu mengangguk mengindahkan pernyataanku. "Mungkin Anda hanya mendengarnya dan tidak tahu keadaan mengerikan saat itu. Anda pasti masih sangat muda saat itu."

Pelayan itu selesai membungkus pesananku dan membawa kotak berukuran sedang itu ke meja kasir. Aku turut mendekati meja kasir ketika pelayan itu mulai mengutak-atik komputer untuk menghitung tagihanku.

"Dahulu Jeon Jung-il adalah pria yang berusaha mempertahankan hak-hak kami, namun dia dibunuh oleh Sekretaris Daejib. Persetan dengan masalah pribadi, aku yakin kematian Pak Jeon tidak sesederhana itu."

Aku menelan ludah kasar dan merutuki diriku yang tidak tahu apa-apa. Hatiku berkecamuk mendengar pelayan toko itu berucap seolah Daejib adalah penjahat. Apalagi nama Jeon Jung-il yang katanya sempat menolak pembangunan Daejang itu membuatku berpikir kalimatnya tadi mungkin ada benarnya. Pembunuhan pria yang merupakan ayah Jungkook itu memang menyimpan lebih banyak misteri dari yang pernah terungkap selama ini.

Masalahnya, mengapa semuanya diam saja? Mengapa penyidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya seolah ada yang disembunyikan.

"Ah, ini tagihannya," katanya lalu memperlihatkan struk padaku.

....

Aku menenteng kotak kue itu sambil berdiri di jembatan Sungai Han. Aku memandangi air sungai yang tenang, tapi mungkin airnya saat ini sedingin es mengingat salju turun beberapa kali bulan ini.

Aku menghela napas. Aku memikirkan banyak hal. Mengingat cerita pelayan dari Indigo Cafe tadi dan wajah Jaksa Min yang penuh selidik terhadapku membuatku yakin kematian Jeon Jung-il memang berhubungan dengan Daejib.

SPINE BREAKERWhere stories live. Discover now