PROLOG

200 16 8
                                    

Aku memejamkan mata sejenak ketika Ibu tidak punya pilihan lain selain menelepon Ayah yang mungkin sedang menghadiri rapat perusahaan. Raut muka Ibu langsung berubah takut bercampur sesal ketika Ayah meninggikan suara di seberang teleponnya.

"Maafkan aku. Aku pasti akan menasehatinya lagi," ujar Ibu sambil menundukkan kepalanya.

Aku mengalihkan pandanganku kepada tiga orang  di sofa seberang yang sedang memandangi ibuku dengan muka masam, serta Wali Kelas dan Kepala Sekolah di sofa lainnya yang sedang menatapku marah.

Ruang Kepala Sekolah menjadi sarana terakhir setelah ruang konseling tidak bisa lagi mengatasi anak nakal sepertiku. Rasanya ruangan ini lebih buruk daripada ruang konseling karena mendadak penghangat ruangan terasa tidak bekerja, membuat luka-luka di wajahku cepat mengering.

"Apakah memungkinkan untuk berdamai?" tanya wali kelas tipe penghasut itu setelah Ibu menutup teleponnya.

"Kami bisa membayar ganti rugi dan biaya pengobatannya," ujar Ibu. "Tolong maafkan Taehyung. Saya bisa bertanggungjawab jika Anda meminta lebih."

Memang beginilah yang terjadi. Dua atau tiga kali sejak aku masuk sekolah dasar, kejadian ini terus berulang. Kami berkelahi, tapi kenapa hanya aku yang disuruh membayar ganti rugi atas rusaknya jendela ruang kelas? Aku juga terluka, tapi kenapa hanya aku yang diminta membayar biaya pengobatannya?

Aku duduk di kelas lima, berkelahi dengan murid kelas enam. Karena sebentar lagi dia lulus, jadi dia selamat. Lagipula aku hanyalah anak kecil, pukulanku tidak sekuat itu. Aku tidak membuat luka parah di wajahnya. Mengapa dia meminta ganti rugi yang besar?

Ibu dipanggil dan menerima surat peringatan. Padahal, aku sedang menolong teman sekelasku, tapi kenapa aku diberi surat peringatan?

Mataku kini memandang ke luar jendela. Kulihat langit kelabu di awal musim dingin ini. Andai saja global warming tidak terjadi, mungkin salju sudah mulai turun awal bulan Desember ini. Aku rindu melihat salju sambil tertawa bersama Ayah, Ibu, dan Seokjin-Hyung. 

"Ini bukan saatnya melamun," kata Ibu menyuruhku mengekor di belakangnya, keluar dari Ruang Kepala Sekolah.

Aku berjalan di belakang Ibu yang melangkah terburu-buru. Karena dinilai lamban, Ibu menarik pergelangan tanganku menuju ke mobilnya. Ia melempar tas kecil warna merah bata ke kursi belakang dan duduk di kursi kemudi setelah membanting pintu.

"Kenapa kau berkelahi lagi?!"

"Tadi, mereka mengganggu Jimin, Ibu. Aku cuma ingin menolong Jimin."

Ibu menghela napas untuk meredakan amarahnya. Kalau aku memang nakal, Ibu pasti akan menjewer telingaku dengan jari-jari lentiknya. Namun, ia hanya menghela napas begitu mendengar alasanku.

"Ayah ingin kau menemuinya nanti malam setelah acara ulangtahun kakakmu selesai. Kau harus menjelaskan kebenarannya dan jangan buat ayahmu marah," kata Ibu lalu menyalakan mesin mobil.

"Bolehkah aku pergi bermain saja? Aku tidak mau datang ke acara itu, Ibu. Semua orang selalu membandingkanku dengan Seokjin-Hyung. Dan lagi, aku tidak mau menemui Ayah."

"Kamu harus membela diri dan buat Ayah memaafkanmu," ujar wanita yang selalu berada di pihakku ini.

Tetap saja, aku tidak yakin Ibu paham bagaimana perasaan bocah sepertiku. Ibu pasti tidak paham bagaimana takutnya aku jika harus bertemu Ayah di tengah-tengah pesta. Lagipula wajahku memar-memar.

Acara ulangtahun Seokjin-Hyung selalu membosankan. Dibandingkan dengan ulangtahun anak-anak seumurannya, ini lebih seperti pertemuan orang-orang tua yang berbisnis dengan Daejib, perusahaan keluarga kami.

SPINE BREAKERWhere stories live. Discover now