THE LEATHER JACKET

92 12 13
                                    

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.


KIM TAEHYUNG


Mungkin ini sudah terjadi seratus kali dalam hidupku, digiring ke ruangan Ayah setelah membuat kekacauan. Namun, rasa takut masih terus kurasakan. Namjoon selalu berjalan di depanku. Tubuhnya yang tegap dan tinggi itu seharusnya bisa melindungiku. Namun, dia hanya bisa menanyakan keadaanku dan menatapku iba ketika Ayah mulai memukuliku.

"Maafkan saya, Tuan Muda. Saya harus melaporkan ini kepada Tuan Besar. Apakah Anda akan baik-baik saja?"

"Tolong, jangan biarkan ibuku tahu," ucapku saat kami tiba di depan pintu ruangan Ayah.

Sejak aku kecil, berdiri di depan pintu ruangan Ayah bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Alih-alih mengharapkan tambahan uang jajan, aku hanya akan mendapatkan luka baru. Bukan hanya luka memar di kulit, tapi Ayah sudah beberapa kali menggores permukaan hatiku bahkan ketika belum sempat kuobati.

Dahulu sekali, kejadian menakutkan juga terjadi di balik pintu ini. Aku masih ingat betul ketakutan dan gelapnya malam itu. Namun, tidak ada yang tahu kebenarannya selain aku dan Kim Nam-ok. Sayangnya, aku hanya anak kecil yang tidak dapat bersuara. Aku tidak mengatakannya pada siapapun, meski mimpi buruk terkadang menghantuiku. Sayang sekali, aku terlalu takut karena Ayah telah mengancamku.

Namjoon membukakan pintu setelah mengetuk dua kali. Foto pernikahan Ayah dan Ibu terpajang di dinding ruangan, bersebelahan dengan foto pernikahan Ayah dengan istri pertamanya. Ayah tersenyum manis dalam foto itu, seperti yang selalu ia perlihatkan di depan Ibu, Seokjin-Hyung, maupun rekan bisnisnya. Namun, begitu kursi kebesaran yang semula menghadap ke luar jendela itu berputar, hanya wajah geram Ayah yang dapat kulihat, wajah yang selalu ia perlihatkan padaku.

Ayah sudah tahu apa yang terjadi karena Namjoon sudah mengabarinya tadi. Aku tahu ia akan langsung menohokku dengan serentetan pertanyaan yang tidak bisa kujawab dengan benar.

Namjoon memposisikan diri di sudut ruangan, seolah meninggalkanku sendirian di arena tinju. Rupanya tubuh Namjoon yang besar tidak berguna sama sekali ketika berada di ruangan ini. Aku hanya dapat menelan ludah kasar sambil berusaha menata hatiku.

Ayah memicingkan mata sembari bertanya, "Baru muncul sudah membuat keributan. Tidak bisakah kau mengendalikan diri?"

"Aku tidak punya kata-kata untuk membela diri," ujarku penuh keberanian, jengah dengan situasi semacam ini.

"Lihat, kau baru saja membuat pesta kakakmu hancur, kini membuat masalah lain. Sudah berapa hari kau kabur dari rumah?"

"Apa Ayah pernah memikirkan kapan aku pulang dan pergi? Ada di rumah atau tidak, apa Ayah peduli?"

Braakkkk!!!

Ayah mengacaukan bidak catur yang tertata rapi di atas meja kerjanya, hingga beberapa jatuh berhamburan di karpet tebal ruangannya. Ia meraih bidak raja lalu melemparnya ke arahku. Dengan sigap bercampur kaget, aku menangkap bidak raja yang dilemparnya sebelum mengenai pelipisku. Entah kenapa, amarahku memuncak hingga berani berjalan santai mendekati Ayah. Dengan tak tahu diri, aku pun meletakkan bidak raja tadi di atas mejanya.

SPINE BREAKERDove le storie prendono vita. Scoprilo ora