10. Kedua Kali Diantar Pulang

112 67 8
                                    

Kedua kaki Naraya mempercepat langkahnya, dengan tubuh yang sudah bergemetar, air mata terus menerus keluar dari balik pupilnya, kondisinya saat ini benar-benar sangat berantakan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kedua kaki Naraya mempercepat langkahnya, dengan tubuh yang sudah bergemetar, air mata terus menerus keluar dari balik pupilnya, kondisinya saat ini benar-benar sangat berantakan. Ia tidak tahu apa salah dirinya terhadap Cika, alasannya membully Naraya benar-benar tidak masuk akal, hanya karena berita Naraya dengan Gaiden.

"Ray, tunggu!" Teriak Gaiden, dengan diiringi suara langkah kakinya yang berlari. Berada dibelakang tubuh Naraya, lengan Gaiden mencekal lengan Naraya, agar wanita ini menghentikan langkahnya.

"Sakit- lepas!" Bentak Naraya dengan bibirnya yang bergetar karena isak tangisnya, membuat Gaiden melepaskan cekalan itu.

Kedua mata Gaiden melirik pergelangan lengan Naraya, ikatan tali yang mengikat dirinya membuat pergelangan itu sangat merah dan meninggalkan jejak. "Gua udah selamattin lu, malah ninggalin gitu aja."

Naraya menghela nafasnya. "Makasih, tapi gua gabutuh bantuan lu. Semua terjadi juga karena lu," ucap Naraya dengan mimik muka tanpa ekspresi apapun.

"Itu di luar kendali gua Ray, gua gabisa kontrol orang-orang yang terlalu obsesi sama gua. Jadi ya, bukan salah gua kali," tutur Gaiden, "Tapi lu tenang aja, sikap Cika bener-bener keterlaluan, dan gua akan tindak lanjuti masalah ini," lanjut Gaiden, membuat Kedua mata Naraya menatap wajahnya.

Air mata di dalam pupil Naraya benar-benar tidak bisa berhenti, terus mengalir seperti air sungai. Apa yang dikatakan Gaiden memang benar, ini bukan sepenuhnya salah laki-laki itu, atau mungkin benar-benar tidak salah. Lengan Naraya me-lap air mata yang sudah membahasi pipi. "Sorry," lirih Naraya, wajahnya menunduk, dengan pandangan yang terfokus ke arah lantai.

"Ayo pulang," ucap Gaiden dengan menarik pelan lengan Naraya.

"Gua bau, gua pulang sendiri aja."

Gaiden berdecak, "Iya lu emang bau, makanya gua anter lu pulang. Kalo balik sendiri nanti lu dikata orang gila, mau?" Dengan kedua kantung mata yang sembab, Naraya menatap tajam laki-laki ini.

Kedua lengan Gaiden melepaskan hoodie yang semula melekat di tubuhnya. "Nih pake, gausah batu jadi cewe." Lengan Naraya meraih hoodie berwarna navy, dengan bahan yang lembut dan tebal. "Ayo, udah sore," ucap Gaiden saat Naraya sudah memakai hoodie miliknya.

>>>

Motor sport hitam yang dikendarai Gaiden melaju sempurna membelah kemacetan kota Bandung. Motor itu membawa Gaiden dan Naraya, memasuki sebuah halaman rumah yang penuh dengan tumbuhan. Suara mesin motor Gaiden cukup menyaring, membuat Wulan yang sedang menyiram tanaman menoleh.

"Makasih ya," ucap Naraya dengan menuruni tubuhnya dari motor Gaiden.

Wulan melangkah mendekati dua pasang lawan jenis yang baru saja tiba. "Naraya?" Kedua bola matanya menatap Gaiden dari ujung kaki hingga kepala.

"Mah, ini temen kelas Raya."

Gaiden ikut menuruni kendaraannya, lalu meraih lengan Wulan dan meletakkannya sejenak di permukaan bibir tipisnya. "Hallo tante, saya Gaiden," ucap Gaiden dengan membentuk senyuman simpul diwajahnya.

Wulan hanya menganggukan kepala, tanpa ekpresi apapun diwajah. "Cepet masuk Ray, bersih-bersih," perintah Wulan dengan melangkahkan kedua kakinya untuk masuk rumah terlebih dahulu.

Mendapatkan respon yang kurang baik membuat Gaiden mengerutkan dahinya, mungkin kehadiran dirinya tidak di harapkan dengan Mamah Naraya, pikirnya. "Kalo gitu gua cabut ya Ray." Gaiden menaiki kembali kendaraannya, lenganya memasang helm untuk melindungi kepalanya.

Kedua mata Naraya terus menatap motor yang di kendari Gaiden, sampai motor itu keluar dari halaman rumahnya. Naraya berjalan gontay memasuki rumah.

"Kamu ada hubungan apa sama cowo itu Ray?" Ucap Wulan, saat Naraya hendak memasuki kamar.

"Gak ada, temen doang."

Wulan menghela nafas, kedua lenganya ia silakan di atas permukaan dada. "Mamah gamau kamu terlalu deket sama dia, keliatannya bukan cowo baik-baik, kalo perlu jangan temenan deh, Mamah gamau kamu nanti ke hasut dia, apalagi sampe punya hubungan yang spesial, perawakannya berantakan gitu."

Mendengar setiap kalimat yang diucapkan Wulan membuat Naraya mengkerutkan dahi, dengan kedua sudut matanya menyipit. "Iya Mah," balas Naraya singkat, ia tidak ingin berdebat apapun dengan Wulan karena kondisinya masih sangat berantakan.

"Itu yang kamu pake, hoodie dia?"

Sepasang mata Naraya melirik ke arah hoodie yang ia gunakan. "Iya, tadi baju Raya kotor, dia kasih pinjem."

"Itu kenapa rambut kamu basah gitu, bau juga," cerca Wulan tanpa jeda, kedua matanya memindai Naraya seolah-olah sedang mencari tau sesuatu.

"Gapapa Mah, Raya capek. Mau istirahat dulu ya."

"Inget ya Ray, Mamah gasuka kalo kamu punya hubungan sama cowo itu," Tegas Wulan saat Naraya memasuki kamarnya.

Kedua kaki Naraya memasuki kamar yang berwarna soft pink, lengannya menekan saklar listrik agar bisa memberi cahaya untuk kamarnya. Ia letakan ransel yang semula melekat di balik punggung, lalu digantungkan di belakang pintu. Kini kedua kakinya berjalan ke arah kamar mandi.

Naraya membiarkan tubuhnya terguyur dengan pancuran air hangat, membiarkan uap menyelimuti tubuhnya. Kedua matanya terpejam, membiarkan hidungnya menghirup aroma sabun lavender, jari jemarinya menyisir bagian rambut, serta menikmati sensasi air hangat yang membasahi tubuhnya. Beberapa menit ia habiskan di dalam kamar mandi yang memiliki cahaya yang sangat terang, lengannya meraih sebuah handuk untuk menutupi tubuhnya

Dengan tubuh yang masih basah dengan air, lenganya sibuk memilih beberapa piyama untuk ia gunakan. Sampai akhirnya, dia memilih piyama berwarna hitam yang bercorak polkadot.

Terdengar samar notifikasi pesan masuk, membuat Naraya melangkah mendekati nakas di samping tempat tidurnya, lenganya segera meraih ponsel yang berada di atas nakas.

|+62******|
Hoodie gua jangan lupa dicuci, soalnya lu bau banget tadi.

Naraya menatap sinis layar ponselnya, nomer itu tidak ada di daftar kontak, tetapi ia tau siapa yang mengirim pesan. Mengapa Gaiden selalu menyebalkan, pikirnya. Tanpa membalas pesan Gaiden, Naraya meletakan kembali ponselnya.

Naraya membaringkan tubuhnya di atas kasur kesayangannya, tubuhnya berguling kesana kemari untuk mencari posisi yang nyaman. Kedua matanya menatap langit-langit atap kamarnya, dengan tatapan yang sangat sendu. Semoga Cika berhenti mengusik hidupnya.

Naraya tidak berniat untuk mencari musuh, ia hanya ingin menjalankan hari-hari seperti biasa, sejak kelas 10 dan 11, ia menjalankan sekolah dengan baik-baik saja. Namun kini semuanya berubah, ia menjalankan sekolahnya dengan tidak nyaman hanya karena berita gosip yang tidak benar

°°°
Hallo! Thank you for reading♡
Stay tune in the next chapter

GAIDEN and NARAYA (SEGERA TERBIT) Where stories live. Discover now