01. Gaiden and Naraya

556 146 95
                                    

Plakk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Plakk

Sebuah lengan kekar milik pria berusia 45 tahunan mendarat sempurna diatas permukaan pipi anak laki-laki, membuat pipi itu kini menjadi merah, dan meninggalkan jejak.

"Kamu masih anak kelas 6 sd Gaiden! Ini udah kesekian kali kamu tawuran!?" Ucap seorang pria itu dengan lantang, kedua matanya menatap tajam ke arah Gaiden, dengan kedua lengannya yang sudah mengepal. "Kamu ini maunya apa? Gabosen bikin papanya malu hah!?" Lengan kiri pria itu kini sudah berada diatas telinga Gaiden, lalu menjewernya dengan sangat keras.

"Cita-cita kamu ingin jadi pembunuh? Jadi anak berandalan? Gapunya masa depan, kamu ini anak saya Gaiden, saya sangat menjaga nama baik saya, tapi kamu terus saja mempermalukan saya!" Ucap pria itu dengan geram.

Gaiden hanya diam saja dengan wajah datar tanpa rasa bersalah, ini bukan kali pertamanya seorang anak kelas 6 sd itu ikut tauran. Gaiden tidak akan pernah merasa kapok, dengan cara apapun Papahnya mengomeli dirinya. Bukan hanya ketahuan tawuran saja, Gaiden yang usianya 11 tahun sudah merokok dan suka mengamen di lampu merah, itu saja yang ketahuan Papahnya, belum yang lainnya.

"Kamu anak saya satu-satunya Gaiden, kamu ahli walis keluarga ini, penerus bisnis saya. Kalo gini terus saya akan cabut nama kamu di daftar warisan saya!" Suara Papa Gaiden semakin meninggi, dengan mengeraskan lengannya yang sedang menjewer telinga Gaiden.

Gaiden terkekeh kecil, kedua matanya menyoroti Papahnya, di dalam mata itu seperti ada gejolak api yang sangat panas.

"Gaiden gaperlu uang Papah! Gaiden kaya gini karena Papah dan Mamah, Gaiden punya orang tua yang lengkap, tapi tidak ada perannya!" Gaiden menghentikan nafasnya sejenak, tidak terasa nafasnya kini sudah menggebu-gebu.

"Gaiden kekurangan kasih sayang, kalian berdua gapernah perduli sama Gaiden, menurut kalian uang aja cukup? Dan yang kalian pentingkan cuma nama baik kalian berdua kan!?" Lanjut Gaiden dengan intonasi yang semakin meninggi. "Uang bisa beli segalanya ya?" Desis Gaiden.

"Jaga ucapan kamu Gaiden! Sebelum-" Ucap Papahnya namun terpotong.

"Sebelum apa Pah? Sebelum Papah cambuk Gaiden lagi, kaya sebelum-sebelumnya?" Cela Gaiden. "Silahkan Pah, Gaiden cuma bicara dan keluarin unek-unek Gaiden selama ini," ucap Gaiden, lalu lengannya melepaskan kaos hitam yang ia gunakan, tubuhnya segera berbalik untuk membiarkan Papahnya melihat punggung Gaiden yang sudah banyak bekas cambukan dirinya.

"Ratih! Tolong ambilkan benda itu," Perintah Papah Gaiden untuk Mamahnya, ia membulat-bulatkan lengan jas yang sedang digunakan, lalu melonggarkan sebuah dasi yang semula rapih melingkar dileher.

Mendapat didikan yang sangat keras sejak Gaiden kecil dan kurangnya kasih sayang serta perhatian dari kedua orang tuannya, membuat Gaiden menjadi pemberontak. Gaiden akan terus melakukan apapun yang ia mau, ia tidak perduli dengan hukuman yang akan diterima. Gaiden suka membuat keributan dirumah ini, rumah ini menjadi ribut seperti ada kehidupan ketika Gaiden berbuat onar saja, maka dari itu Gaiden menyukainya.

Papahnya terlalu sibuk dengan segala bisnis yang ia punya, mungkin dari Gaiden lahir di dunia ini, Papahnya tidak pernah perduli dengan anaknya. Mamahnya, sibuk sekali dengan berbagai arisan dan berkumpul bersama dengan teman-teman sosialitanya. Seperti yang Gaiden ucapkan, ia mempunyai kedua orang tua yang masih lengkap, namun tidak ada perannya.

>>>

Anak kecil berjenis kelamin wanita sedang duduk di bawah lantai kamar bernuansa soft pink, pandanganya sangat kosong tetapi air di dalam matanya terus mengalir, bibir mungilnya sangat bergetar menahan isak tangis. Kedua lenganya menutup kedua telinga miliknya dengan erat.

Di luar sana, tepatnya diruang tengah, ada mamah dan ayahnya yang sedang bertengkar hebat, suara diantara kedua lawan jenis itu sangat tinggi, saling membentak satu sama lain, Naraya tidak tahu menau pakar masalahnya. Saat Naraya sedang pulas tertidur tiba-tiba suara tinggi dari Mamah dan juga Ayahnya terdengar, membuat Naraya terbangun.

"Kita cerai aja!" ucap Mamahnya diluar sana, dengan suara yang lantang namun bergetar.

"Oke jika itu mau kamu, aku talak 3 kamu detik ini juga!"

Naraya tersentak kaget mendengar kalimat itu, walaupun ia masih kelas 6 sd namun kata 'cerai' sudah sangat familiar di dalam dirinya. Naraya tahu apa arti kata itu.

Naraya menuruni setiap anak tangga dengan berlari kecil, di sebuah sofa berwarna hitam panjang ada Mamahnya yang sedang duduk, kedua bola matanya sangat merah, tatapannya sangat tajam, disana hanya ada mamahnya, dimana ayahnya?

"Mamah," ucap Naraya lirih, kedua kakinya segera menghampiri mamahnya untuk memeluk.

Mamahnya membalas pelukan Naraya, ia membiarkan Naraya masuk dalam dekappannya. Setiap halusan terasa beberapa kali, belaian yang berasal dari lengan Mamahnya membuat Naraya merasa nyaman.

"Dimana ayah?" Kedua mata Naraya mengelilingi sudut ruang tengah.

BRRUKKK

Suara pintu dibanting dengan keras, membuat gemaan di dalam rumah, tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang dihentakakan dengan keras disetiap anak tangga. Ayahnya Naraya berdiri tegak di anak tangga terakhir, dengan koper berwarna merah yang berada disamping dirinya, kedua matanya menatap Naraya dan Mamahnya.

Naraya berlari menghampiri Ayahnya, kedua lengannya memegang erat lengan kekar milik Ayahnya.

"Ayah mau kemana? Ayah jangan tinggalin Raya, Raya mohon," ucap Naraya dan memandangi wajah Ayahnya dengan tatapan sendu, tubuhnya bergetar hebat saat ini.

Ayahnya berjongkok di hadapan Naraya, agar tubuhnya dapat sejajar dengan Naraya, ia letakan koper itu disamping dirinya, lalu lengannya bergantian mengelus pucuk kepala Naraya.

"Maaffin Ayah ya nak, belum bisa jadi Ayah yang baik, tapi Ayah harus pergi dari rumah ini, kalo Raya mau ketemu Ayah boleh banget ko," suara berat milik Ayahnya sangat terdengar ketika mengeluarkan beberapa kata itu.

"Kenapa gitu ayah? Ayah udah ga sayang Raya ya?" Ucap Naraya dengan pandangan yang terfokus ke arah lantai. "Raya mohon ayah, jangan pergi," lanjut Naraya.

"Ayah gabisa, maaffin Ayah ya nak." Ayah Naraya perlahan mengubah posisinya agar bisa berdiri dengan tegak kembali, kedua lengannya meraih koper lalu kedua kaki jenjang Ayahnya melangkah melewati Naraya begitu saja.

"Surat-surat perceraian biar aku yang urus," jelas Ayah Naraya diambang pintu, dengan menatap ke arah Mamahnya, tubuh Ayahnya sedikit berbalik untuk melihat putri kecilnya, lalu kakinya menerusi perjalanannya untuk melewati pintu rumah.

"Ayahhhh!" Teriak Naraya, air didalam matanya terjun sangat deras, suara tangisannya sudah terputus-putus, di dalam dirinya seperti ada sesuatu yang menancap.

"Mamah kenapa engga cegah ayah!?" bentak Naraya, dengan suara yang sangat bergetar. "Mamah jahat, Ayah jahat!" Naraya kembali berlari menaiki anak tangga.

Dimulai dari sini lah kehidupan Naraya berubah, awalnya memiliki kedua orang tua yang terlihat sangat romantis, selalu menghabiskan waktu bersama, namun kini semuanya berubah begitu saja, entah apa yang sudah terjadi. Mamahnya sangat bungkam jika Naraya tanya mengapa keduanya memilih untuk berpisah. Naraya sangat benci kehidupannya yang sekarang, sangat sepi dan hambar, ia menjalani hidup dengan seadanya dan sejalannya saja, Naraya sangat tidak menikmati hidupnya.

°°°
Hallo! Thankyou for Reading♡
See you in the next chapter

GAIDEN and NARAYA (SEGERA TERBIT) Where stories live. Discover now