05. Rumah?

177 98 37
                                    

"Semua orang punya rumah, tapi tidak semua orang punya tempat untuk pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Semua orang punya rumah, tapi tidak semua orang punya tempat untuk pulang."

>>>

Kedua kaki Gaiden menuruni beberapa anak tangga yang melingkar, dengan di iringi suara sendal disetiap langkahnya sehingga memecahkan keheningan yang ada, kedua lengangnya ia taruh ke dalam saku celana cargo yang hanya sampai atas lutut. Di dua anak tangga terakhir, Gaiden menghentikan langkahnya, sepasang mata elang itu terus menyorot ke sebuah meja makan. Gaiden menghirup udara yang ada, lalu ia hembuskan udara itu kembali. "Tumben dirumah," gumam Gaiden, lalu kembali melangkah.

Mendengar suara langkah dari belakang tubuhnya, membuat Ratih menoleh. "Hai sayang, ayo makan," Gaiden mengangkat kedua sudut bibirnya, lalu melirik ke seorang pria yang sibuk menyantap hidangannya.

Gaiden menjatuhkan bokongnya disebuah kursi yang memiliki 4 buah kaki dan sandaran yang cukup tinggi, kursi itu terletak tepat di sebrang Mamahnya.

Suasana saat ini sangat hening, hanya ada suara hembusan angin dari alam dan suara dentingan antara sendok dan piring yang saling beradu, diatas permukaan sebuah benda yang biasa disebut dengan meja makan, suasana seperti ini sudah biasa Gaiden dapatkan, ada atau tidak ada kedua orang tuanya sama saja.

Bima melirikan kedua mata pandanya ke arah Gaiden yang sedang menenggak segelas air putih, di wajah Gaiden terdapat lebam. "Berantem sapa siapa lagi kamu, Gaiden!?" Bentak papahnya, dengan sendok yang ia banting diatas piring, suara itu memecahkan keheningan sesaat.

Gaiden mengeratkan jari-jemarinya di permukaan gelas yang sedang ia tenggak, dengan susah payah ia menenggak saliva miliknya juga.

Ratih mencoba meraih lengan Bima yang berada diatas meja makan. "Pah udah, gabaik bertengkar saat makan," tutur halus Ratih.

Kedua lengan Bima sudah mengepal, sampai akhirnya satu kepalan itu mendarat diatas meja makan. "Jawab saya brengsek!" Geram bima, dengan amarah yang sudah mengalir di dalam tubuhnya.

"Ga berantem, jatuh," alibi Gaiden dengan membangkitkan tubuhnya, ia memilih untuk tidak berdebat dengan Papahnya, karena itu sangat menguras energi.

Tubuh Bima ikut bangkit, "Kamu pikir saya bodoh!?" kedua lengannya meraih kerah kaos polo hitam yang sedang Gaiden gunakan. "Kamu tuh binatang ya Gaiden, ko dikasih tau pake bahasa manusia masih aja engga ngerti-ngerti," cerca Bima, dengan melepaskan cengkramanya dari kerah baju Gaiden, sehingga membuat Gaiden terhuyung, "Dasar anak biadap!" lanjut Bima.

Gaiden tersenyum menyeringai, kemarahan yang semula ia tahan, kini sudah menguasai dirinya dengan wajah yang terasa memanas, "Bisa ga si Pah, coba intropeksi diri dulu, kenapa Gaiden kaya gini!? Jangan bisanya cuma nyalahin doang dari dulu," sindir Gaiden, kedua bola matanya membalas tatapan tajam yang diberikan Papahnya.

"Masih bisa kamu ngejawab ya!" suara lantang Bima dan melayangkan telapak tangannya.

Plakkk

Tubuh Gaiden tersungkur diatas lantai karena tamparan yang cukup keras, entah sudah tamparan keberapa yang mendarat di permukaan pipinya. Tubuh Gaiden memang belum sembuh total setelah kejadian tawuran tempo hari lalu, membuat Gaiden tidak bisa menahan tubuhnya.

"Ambil benda itu Ratih!" Perintah Bima, dengan suara yang menggunakan intonasi tinggi.

Gaiden membuka kaos yang ia gunakan, seolah mengerti yang ingin dilakukan oleh Bima. Gaiden memang terkenal pembuat onar, bringas dan bisa bertarung dengan hebat,  walaupun Gaiden selalu menentang ucapan Bima, tapi Gaiden tidak pernah sekalipun membalas pukulan yang diberikan oleh papahnya sejak ia kecil.

Lengan kirinya ia tolakan dipermukaan pinggang dan lengan kanannya memegang sebuah benda yang terbuat dari tali-temali yang semakin mengecil ke sebelah ujung dan diberi gagang. Cambukan suatu hal yang biasa bagi Gaiden sejak ia kecil, bahkan itu sudah menjadi rutinitas sehingga rasa sakitnya sudah tidak berasa lagi. Luka di batinya lebih sakit, daripada luka di fisik.

Sttt....
Sttttt...
Stttt......

Suara ayunan cambukan ketika mendarat dipunggung Gaiden, sangat terdengar jelas di indra pendengaran menandai bahwa cambukannya sangat keras, benda itu terus melayang dan mendarat dipunggung Gaiden, tanpa jeda sedetikpun.

>>>

"Gua udah lupa, gimana rasanya punya keluarga yang lengkap," ucap Naraya, kedua matanya terus menatap ke arah anak kecil yang sedang berada di antara kedua orang tuanya dan sesekali diselipi dengan candaan.

Aldo mengikuti pandangan Naraya berada, ia memaksakan senyuman dan terus memperhatikan wajah Naraya. "Ada gue Ray," ucap Aldo, lengangnya mengelus beberapa kali pucuk rambut Naraya.

Aldo merupakan sepupu Naraya, anak dari adiknya mamah Naraya. Aldo lebih tua satu tahun dari Naraya, keduanya sudah bersama sejak kecil. Papah Aldo sudah berpulang sejak ia berusia 4 tahun, membuat keduanya saling menjaga dan menyemangati satu sama lain, Aldo sudah menganggap Naraya sebagai adiknya, begitupun sebaliknya. Jika bersama Aldo, sikap Naraya sangat berbeda, ia memperlihatkan sifat aslinya yang dulu di hadapan Aldo, hanya Aldo.

"Bahkan yang keluarganya lengkap juga belum tentu bahagia loh Ray," seru Aldo, membuat Naraya menatapnya.

"Iyakah Bang?" tanya Naraya dengan memasuki eskrim ke dalam mulutnya.

Aldo mengangguk, "Banyak ko Ray, maka dari itu, lu jangan ngestuck terus ya,"

Naraya mengedikkan kedua bahunya dan memalingkan wajah ke arah lain, "Rumah yang bener-bener untuk pulang itu bentuknya kaya gimana ya," gumam Naraya dengan mengernyitkan wajahnya.

"Kalo lu gabisa dapettin rumah itu, lu harus bangun sendiri," kata Aldo, membuat Naraya mengerutkan dahinya seolah-olah tidak mengerti dengan ucapan Aldo. "Lu bangun rumah itu, sama calon masa depan lu, " lanjut Aldo.

Kedua bola mata gadis itu berputar malas, "Mana ada calon, gua aja jomblo," ucap Naraya dengan wajah yang sudah ditekuk, membuat Aldo terkekeh-kekeh.

"Lu si jutek, judes, ketus, jadi orang-orang pada takut sama lu!" sindir Aldo dengan menepuk-nepuk bahu Naraya.

Sudut mata Naraya mengkerut, kedua lengannya sudah ia silakan di permukaan dadanya, "Aldo!" desis Naraya tanpa embel-embel bang, kedua kakinya ia hentakan diatas tanah dengan kasar.

"Mau gua cariin cowo?" goda Aldo, membuat bibir Naraya membentuk kerucut.

"Balik deh yu, sebelum gua hilaf buat cemburin lu ke rawa-rawa." Naraya membangkitkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Aldo yang masih terkekeh.

°°°
Hallo! Thankyou for Reading♡
See you in the next chapter

GAIDEN and NARAYA (SEGERA TERBIT) Where stories live. Discover now