22. TALK LIKE A GENTLEMAN

248 40 2
                                    

Dari semalam, Gemala rasanya sudah nggak tenang, tidurnya nggak nyenyak, sarapannya pun nggak enak. Bahkan ketika guru mata pelajaran pertama masuk ke kelas dan memberi mereka materi, Gemala sama sekali nggak fokus, dia resah dan gelisah.

Otomatis, hal itu menyita perhatian Neza selaku teman sebangkunya, yang merasa aneh dengan tingkah Gemala.

"Kenapa sih, Mal? Kebelet apa gimana?" tanya Neza.

Gemala menggeleng-geleng. "Hugo sekolah nggak ya hari ini?" celetuk Gemala bertanya.

Neza mengerutkan keningnya. "Lah, mana gue tau, emang gue emaknya?" sahut cewek itu. "Lagian, mau dia sekolah apa enggak emang kenapa sih? Dia, kan emang sering bolos," ujarnya lagi.

Gemala menggigit bibirnya, kakinya mengetuk-ngetuk lantai secara tak beraturan. Neza dibuat heran sendiri melihatnya.

"Udah, nggak usah mikirin tuh Buaya TKR, mending kerjain nih tugasnya," ujar Neza, menyodorkan tugas yang diberikan guru untuk mereka selesaikan selama jam pelajaran ini.

Iya, Gemala maunya nggak mikirin Hugo, tapi diluar kendalinya, dia malah terus kepikiran. Mana chatnya sama sekali nggak dibalas meskipun ceklis dua. Sebetulnya mau pergi ke mana si Hugo itu? Kenapa sampai dari semalem chat Gemala sama sekali nggak dibalas? Dia juga nggak kelihatan online sama sekali. Sedangkan di sisi lain, si empu yang lagi dia pikirin malah lagi gelut sama teman sekelasnya.

"Udah, ngaku aja, lo emang sengaja hindarin gue sama yang lain, kan?" ujar Brian mendesak Hugo.

Semua itu berawal ketika dia tahu Hugo yang tiba-tiba pindah tempat duduk, padahal sebelumnya dia ada di deret kursi yang sama dengan Brian, Ardo, dan Fazio. Terlebih lagi, Hugo jarang ikut kumpul atau pergi nongkrong bareng lagi akhir-akhir ini, sebab itulah Brian dkk itu berspekulasi kalau Hugo sengaja jauhin mereka.

Karena muak terus-terusan didesak, akhirnya Hugo membalas, "Iya, emang gue sengaja. Itu, kan jawaban yang lo mau? Buat apa sih lo mojokin kayak gitu, gue cuma pindah bangku, bukan pindah kelas, kalau kalian merasa gue hindarin, ya terus emang itu salah gue?"

Brian berdecih, lalu tertawa miring. "Oh, gitu ya lo sekarang?" ujarnya, menatap Hugo seolah menyimpan dendam baru. Sama halnya dengan Ardo dan Fazio.

Sedangkan Hugo sama sekali nggak gentar, biarlah mereka berprasangka sesuka mereka. Hugo punya hak buat memilih siapa saja yang layak jadi temannya. Hugo juga nggak merasa menyesal harus meninggalkan mereka.

"Oke, liat aja dah lo," tandas Brian, mengultimatum.

Lalu sebuah ketukan keras seperti kayu dipukul yang berasal dari ambang pintu membuat mereka spontan menoleh ke sumber suara bersamaan.

TTOK! TTOK! TTOK!

"Kerjakan latihan soal yang sudah saya kirim, lalu submit jawabannya, saya tunggu sampai jam pelajaran saya selesai." Seorang guru laki-laki berdiri di ambang pintu, menyerukan kalimat perintah memberi anak muridnya tugas untuk dikerjakan.

Mereka yang tadinya lagi bergerombol menonton adegan bertengkar yang sedang berlangsung otomatis membubarkan diri kembali ke bangkunya masing-masing.

"Kaga usah dipikirin, mereka emang udah begitu dari dulu," ujar cowok yang bangkunya sebelahan dengan Hugo.

Hugo berdecih. "Males amat mikirin, siapa dia. Cewek cantik juga bukan."

Cowok itu terkekeh. "Bisa aja dah lo. Emang udah bener lo pindah, sebelum makin ketularan, dari SMP, mereka emang udah badung. Nggak tau juga kenapa di sini malah bisa sekelas."

"Lo temennya?" tanya Hugo.

"Bukan. Kenal aja gue mah. Udah habis berapa aja lo diporotin?"

Kening Hugo berkerut. "Maksud?"

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang