17. CAN WE FIX IT?

280 48 4
                                    

hayo, yang sebelumnya udah nagih update, ramein ya, awas kalau diem kek lagi ujian nasional 😀

happy reading 🌷

***

Sebetulnya, Hugo merasa sungkan untuk pulang, tapi dia juga nggak mungkin mau mengungsi di rumah omanya. Hugo bukan tipe orang yang gampang betah tinggal lama di tempat yang bukan rumahnya sendiri.

Ketika tiba di rumah, waktu masih menunjukkan jam tiga kurang lima belas menit. Suasana rumah sedang sepi, Reon mungkin sedang pergi bermain dengan bocil komplek lain, kalau nggak lagi tidur siang, sedangkan Elvano dan Elkano belum pulang sekolah, papanya juga pasti masih ada di tempat kerja.

Mungkin di belakang ada Mbak Aida yang sedang menyapu halaman atau mamanya kalau sedang ada di rumah.

Hugo nggak langsung menuju ke kamarnya, dia justru bertolak naik ke lantai dua, membuka pintu balkon dan melihat halaman dari teras yang menghadap ke arah belakang, ternyata memang ada Mbak Aida di sana yang sedang menyapu halaman dan mamanya yang tengah menyiram bunga.

Memperhatikan sang mama, pandangan Hugo perlahan berubah sendu.

Intropeksi kesalahan lo, jangan sampai lo ketemu penyesalan yang nggak bisa lo perbaiki.

Kalimat yang diutarakan Elkano tempo lalu melintas begitu saja di benak Hugo. Inikah penyesalan itu? Apa Hugo masih sanggup untuk memperbaikinya?

Hugo selalu menyaksikan, bagaimana Reon yang selalu menempel dengan mamanya setiap kali Mama ada di rumah, Elkano yang senang melakukan kontak fisik dengan Mama, dan Elvano yang sering mengusili sang mama dengan candaan garingnya.

Ketiga saudaranya itu sangat dekat dengan Mama, mereka tak pernah menolak untuk melakukan kontak fisik seperti pelukan dan ciuman, berbeda dengan Hugo yang sejak SD sudah tidak suka untuk dicium-cium, apalagi sampai ketahuan temannya, pasti dia akan marah-marah.

Ketiga saudaranya juga jarang membantah apalagi sampai membentak Mama. Mama terlihat baik-baik saja dengan tiga anaknya yang penurut dan baik, mungkin Mama juga akan lebih bahagia tanpa adanya Hugo yang sering membuat Mama pusing dan khawatir.

Kedekatan ketiga saudaranya dengan sang mama membuat Hugo iri, seketika muncul perasaan ingin. Hugo juga ingin dipeluk, Hugo juga mau dicium oleh Mama. Tapi, apa Hugo masih pantas setelah apa yang dia perbuat pada Mama?

Lagipula, bukannya kehadiran Hugo dulu nggak pernah diharapkan oleh mama dan papanya? Dia ada tanpa direncanakan seperti abang dan adiknya. Bahkan, menurut cerita yang Hugo ketahui, dulu waktu Mama mengandung Hugo adalah masa-masa yang berat, karena bawaan si calon bayi yang membuat Mama sering sakit dan harus bedrest. Itu saja sudah cukup menjelaskan, jika Hugo sering merepotkan bahkan sejak dia belum lahir ke dunia.

Ma, maaf

Ma, Hugo minta maaf, Hugo salah, Ma

Hugo nggak seharusnya begitu ke Mama, Hugo udah keterlaluan, maafin Hugo, Ma

Harusnya cuma tinggal bilang begitu, tapi kenapa rasanya berat banget? Hugo nggak punya nyali. Dia payah. Dia berani bentak mamanya, tapi nggak berani buat minta maaf.

Ma, kalau Hugo minta maaf, Mama masih mau maafin Hugo nggak?

Ma, Hugo nggak pantes ya jadi anaknya Mama?

Hugo menghela napas, lalu menunduk. Hanya bisa menelan kalimat-kalimat itu dalam hatinya tanpa bisa menyampaikan pada mamanya.

Namun, ikatan batin ibu dan anak itu nyata adanya. Ghea yang tadinya sibuk menyiram bunga secara spontan menoleh ke arah teras lantai dua, rasanya seperti sedang diperhatikan, dan perasaan itulah yang membuat Ghea otomatis menoleh hingga mendapati Hugo yang tengah melamun berdiri di tepi pembatas.

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang