Ø4. TEMAN BARU

277 44 1
                                    

Daripada ketiga saudaranya, Hugo itu termasuk yang paling jarang kelihatan santai-santai di rumah, hampir setiap sore selepas pulang sekolah, Hugo selalu keluar, entah itu nongkrong atau kencan, kadang juga malam di hari-hari tertentu Hugo pergi latihan voli dengan klub luar sekolah yang dia ikuti.

Tapi sore ini Hugo nggak punya agenda nongkrong atau kencan, jadi dia cuma leha-leha di rumah, makan es krim sambil mainan drone.

Sewaktu lagi asik mainan drone, tiba-tiba Hugo dikagetkan dengan kehadiran mamanya yang nggak dia sadari, duduk sampingan di teras belakang rumah.

"Dapet gambar apa?" Ghea melontar tanya, membuat Hugo tersentak kaget.

"Mama ngagetin!" responsnya refleks, mengundang suara tawa dari sang mama.

"Gimana sekolahnya? Nyaman nggak?" Ghea kembali bertanya, tetapi kali ini dengan pertanyaan yang berbeda, menyinggung tentang sekolah Hugo.

Kembali fokus pada remot drone-nya, Hugo mengangguk-angguk. "Biasa aja sih, nggak ada yang wah," jawabnya.

"Tapi udah dapet temen 'kan?"

"Dapet cewek cantik sih, Ma." Hugo menyahut asal.

Membuat tawa kembali mengudara dari wanita cantik, ibu dari empat anak tersebut.

Hugo pun mengimbuhi ucapannya dengan kalimat, "Lagian Mama nanya gitu ke Hugo, harusnya ke Bang Kano, memprihatinkan soalnya, Ma. Sampe udah tingkat akhir pun, dia nggak punya temen deket," ujar Hugo, membawa-bawa abang nomor duanya.

"Kamu emangnya punya?" sindir Ghea, berkelakar.

Hugo menggeleng. "Buat Hugo, cewek cantik udah cukup, Ma," sahutnya dengan mata yang masih fokus melihat apa yang tertangkap oleh kamera drone-nya.

Ghea tersenyum. "Tapi 'kan beda, Go ... mereka nggak bisa kayak temen yang bisa dimintain tolong sewaktu-waktu, nggak bisa jadi tempat kita cerita juga. Emang nggak mau punya sahabat kayak Mama punya Auntie Devi, Auntie Sekar, sama Auntie Ratna?" 

"Sama aja Ma, punya nggak punya juga Hugo nggak bakal jadiin mereka tempat cerita. Lagian, punya sahabat nggak termasuk life goals Hugo," balas Hugo.

Sama halnya dengan Elkano, Hugo itu termasuk yang jarang bahkan nyaris nggak pernah membawa temannya ke rumah, kadang Ghea bingung kalau mau tanya kabar Hugo ke temannya, karena Ghea nggak kenal sama teman-temannya Hugo.

Kalau Elkano, masih ada Jingga dan Fabian yang meskipun nggak sering, tapi pernah dibawa Elkano ke rumah, jadi semisal Elkano pulang telat dan nggak bisa dihubungi, Ghea bisa bertanya pada Jingga ataupun Fabian.

Sedangkan Hugo enggak, dia kelihatannya memang friendly, tapi gengsinya setinggi langit. Hugo bisa akrab dan berteman dengan siapa saja, tapi semuanya hanya sebatas teman main dan teman bercanda biasa, bukan seperti Elvano yang punya Ivy dan Ravin.

Hugo juga bukan tipikal orang yang terbuka dan gampang menceritakan perasaan atau masalahnya ke orang lain, bukan karena dia punya trust issue, tapi karena memang sebesar itu gengsinya dia. Hugo nggak mau kelihatan bergantung ke orang lain, dia maunya orang yang bergantung ke dia.

Ghea tersenyum kecil. "Dasar kamu ini. Ya udah senyaman kamu aja, asal akur sama temen-temen yang lain. Jangan ikut-ikut yang nggak bener apalagi sampe berantem, fokus aja sama jalan kamu sendiri, udah gabung ke ekskul voli 'kan?"

"Kalau itu mah nggak perlu ditanya, Ma. Mama tunggu aja, bentar lagi Hugo bakal jadi bintang. Hugo siap borong piala," ucap Hugo dengan bangga, sebuah senyuman tersungging di wajahnya.

Ghea tertawa. "Oke, Mama tunggu. Mama siapin tempat yang luas buat pialanya nanti, kalau perlu tambah lemari."

Beberapa piala yang ada di dalam lemari hasil lomba atas nama sekolah memang bukan piala asli, melainkan tiruan yang sengaja dibuat sebagai bentuk apresiasi, bahkan piala dengan tinggi nyaris satu meter yang pernah didapatkan Elkano dari lomba cerdas cermat pun juga ada tiruannya di rumah dengan tinggi dan bentuk yang sama persis.

When The Sun Is ShiningWhere stories live. Discover now