13. PECAH

208 32 5
                                    

"Go! Buka!" Elvano menggedor pintu kamar Hugo dengan kasar. Seumur-umur, dia nggak pernah dibuat semarah ini oleh adiknya sendiri.

Lalu Hugo muncul dari balik pintu, dengan ekspresi kesal dia menyembur, "Apaan sih, lo?! Mau ikut-ikutan ngomel? Mending lo pergi, gue nggak lagi pengen denger orang bacot," ujar Hugo lalu hendak kembali menutup pintu kamarnya, tapi lengan Elvano segera menahan, membalas ucapan Hugo dengan nggak kalah beruratnya.

"Lo yang bacot. Jangan sampai gue tempeleng ya lo. Lo tuh kenapa sih sebenernya? Pala lo habis kejedot di mana sampai lo tolol dan kurang ajar bentak-bentak Mama sama Papa? Udah gila ya lo?" cecarnya membuat Hugo sedikit terkejut sebab baru kali ini abang sulungnya itu mencecar dengan ekspresi marah yang betulan marah.

Tapi karena akal sehat Hugo sudah dibutakan oleh emosi, dia justru membalas nyolot, "Terus urusan sama lo apa? Mau gue bilang gue kenapa juga emang lo bakal ngerti? Lo nggak akan ngerti, Bang! Karena lo lebih—"

"Lebih apa?! Lebih apa gue tanya?" Elvano menyela cepat, intonasi bicaranya kembali naik.

"Lo nggak akan bisa bilang kalau Mama lebih sayang gue, Kano, ataupun Reon, Go, karena kenyataannya Mama emang sayang sama kita semua. Kapan Mama pernah pilih-pilih dan bedain kita? Lo pernah denger nggak?" lanjutnya mencecar membuat Hugo terdiam.

"Bahkan lihat tingkah lo yang kayak gini aja, Mama masih nahan buat nggak bilang sama Papa, coba kalau Papa yang tau duluan? Udah abis lo kena geprek," ujar Elvano lagi. Seolah belum cukup, dia masih menambahi,

"Mama pernah bentak lo nggak? Pernah maki lo? Pernah bilang jelek di depan lo? Pernah nggak gue tanya?" tanyanya mendesak Hugo, tapi Hugo masih diam.

Jelas dia nggak bisa jawab, karena mamanya nggak pernah melakukan itu. Sekalipun memang sering mengomel, Ghea nggak akan pernah membentak apalagi sampai memaki anak-anaknya.

"Tapi kok lo sendiri tega buat bentak Mama? Lo sadar? Yang lo lakuin itu sinting. Nggak tau diri." Intonasi bicara Elvano merendah, matanya menatap Hugo dengan tajam.

Dia pikir, Hugo akan berpikir, atau paling nggak merasa bersalah dengan apa yang sudah dia perbuat, tapi dia justru merespons dengan balasan yang bikin Elvano nggak habis pikir

"Oh, terus? Keliatan peduli nggak muka gue?"

"Mending lo tobat. Kalau masih numpang hidup sama orang tua, jangan nggak tau diri kayak bisa hasilin duit sendiri. Lo masih bocah, jangan kebanyakan bertingkah. Kalau sampai gue liat lo ngerokok, bukan rokok lo yang gue patahin, tapi batang leher lo," tandas Elvano menatap Hugo dengan tajam, sebelum dia berbalik dan pergi dari sana.

Elvano nggak sadar kalau sedari tadi, apa yang dia ucapkan didengar oleh mamanya. Elvano sempat terkejut ketika mendapati Ghea berdiri di balik tembok.

"Abang jangan gitu," ucap Ghea saat Elvano melihatnya dengan ekspresi kaget.

Elvano berkedip, lalu membalas, "Jangan gitu gimana, Ma? Hugo udah keterlaluan, dia pantes buat ditegur. Ngomong kalem aja nggak akan mempan. Udah gila dia sampai berani ngelawan sama orang tua."

Dengan tatapan sendu, Ghea menatap putra sulungnya, mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Elvano. "Abang, sesuatu yang keras itu akan pecah kalau dilawan dengan yang sama kerasnya. Tenangin dulu emosinya, Hugo juga begitu, biarin dia buat dinginin pikiran. Kita bicara lagi nanti kalau udah sama-sama tenang."

Elvano menatap sang mama. "Mama kalau sabar begini bikin Vano takut. Mama marah aja, Mama pantes kok buat marah."

Ghea menggeleng. "Marah nggak akan menyelesaikan masalah, Bang. Yang ada justru menambah panjang dan rumit masalah," ucapnya.

When The Sun Is ShiningWhere stories live. Discover now