18. MAKAN MALAM

257 38 2
                                    

"Go."

"Bangun, Go."

Hugo terbangun dengan terkejut, ekspresinya tampak bingung, ia menatap mamanya dengan penuh tanya, khas ekspresi orang baru bangun tidur yang masih kelihatan linglung. Dari luar terdengar suara adzan magrib yang masih berkumandang, di mana Hugo langsung sadar, kalau dia ketiduran dan sekarang sudah magrib.

"Bangun, udah magrib. Cuci muka gih, biar nggak ngantuk lagi." Ghea menitah sambil menepuk pelan lengan Hugo.

Hugo bangun dari posisinya, masih dengan wajah bantal dan muka yang agak sembab. Tangannya menggaruk-garuk rambut, sambil mengumpulkan nyawa.

"Mama tinggal keluar, jangan tidur lagi, ya," ujar Ghea sebelum akhirnya berlalu keluar dari kamar Hugo, meninggalkan si empu yang masih mengumpulkan nyawanya.

Hugo mengerjap pelan beberapa kali, sampai dia ingat dan sadar, kalau percakapannya dengan sang mama beberapa waktu yang lalu bukanlah mimpi. Terakhir, yang Hugo ingat adalah, dia meminta peluk mamanya dan ketiduran.

Hugo baru akan beranjak dan membuka pintu kamar untuk keluar sebelum niat itu terurungkan saat mendengar seruan Reon dari luar. Hugo lantas menurunkan kembali tangannya dari gagang pintu. Ia mungkin sudah berbaikan dengan mamanya, tapi setelah apa yang dia lakukan, Hugo nggak yakin dia masih punya muka buat ketemu saudara-saudaranya.

Mereka mungkin lebih baik tanpa adanya gue.

Alhasil, Hugo memilih untuk mendekam saja di kamarnya, sampai Ghea kembali mengetuk pintu.

"Go, Mama buka ya pintunya?" izin wanita itu.

"Buka aja, Ma."

Lalu pintu kamar Hugo terbuka. "Ayo keluar, makan malamnya udah siap."

Hugo terdiam sesaat. "...nggak usah, Hugo masih kenyang kok."

"Kenyang dari mana? Udah, ayo keluar, ditungguin yang lain, kita makan bareng-bareng."

"Hugo ... malu, Ma," cicit Hugo.

Otot wajah Ghea mengendur. "Malu sama siapa, Sayang?"

"Sama Bang Vano, Bang Kano, Reon, sama Papa juga ...," jawab Hugo dengan gestur canggung. "Hugo makan sendiri aja nanti, Ma," tukasnya.

Ghea yang mengerti pun akhirnya membiarkan. "Hmm, ya udah, tapi nanti makan ya?"

Hugo mengangguk-angguk, lalu Ghea kembali menutup pintu kamarnya. Helaan napas Hugo udarakan dengan keras, cowok itu terlentang di atas kasur dan memejamkan mata. Entah sampai kapan ia akan seperti ini.

Memang lebih mudah bikin masalah daripada menerima resiko dari masalah itu. Hugo serasa nggak lagi punya muka.

Hugo sudah asyik bermain ponsel ketika Ghea kembali mengetuk pintu kamar, meminta izin untuk membukanya.

"Ayo keluar, makan. Yang lain udah ke kamar semua kok," ajak wanita itu seraya tersenyum hangat.

Hugo termenung, ia mengerjap dua kali, kemudian beranjak mengikuti mamanya ke ruang makan. Benar saja, tak ada siapa-siapa di sana, bahkan di ruang tengah pun tak terdengar suara apa-apa, biasanya Elvano sibuk bergaduh dengan papanya, atau suara televisi yang menanyangkan siaran malam.

Sampai di ruang makan, Ghea langsung menyiapkan dua piring, mengisinya dengan nasi yang masih hangat, sayur, dan lauk-pauk.

"Mama kok ..." Hugo memandangi Ghea yang juga ikut makan bersamanya.

Ghea tersenyum. "Makan sendiri tuh nggak enak, lebih enak kalau ada yang nemenin, kan?"

"Mama belum makan?"

When The Sun Is ShiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang